Dear Pembaca
Setiap insan tuhan dalam menjalani roda kehidupan
yang tak kunjung henti hingga langit runtuh di rutinitas tiap hari nya, banyak
cara yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari para pelaku hidup yang
menjalani hidup. Dalam sektor dunia usaha permasalahan yang paling sering
muncul yaitu pengusaha – pengusaha yang berkeinginan untuk dapat mengembangkan
usahanya namun terkendala dengan modal kecil. Untuk mencukupi ketersediaan
modal tersebut para pengusaha membutuhkan pihak lain yakni lembaga pembiayaan
untuk memberikan pinjaman modal terebut melalui mekanisme perjanjian kredit. Pada
saat bank melakukan perjanjian kredit dengan pihak debitur, sudah seharusnya
pihak bank perlu mendapat jaminan atas pembayaran piutangnya, yaitu dengan cara
mensyaratkan penyerahan benda oleh nasabah debitur kepada bank.
Sedikit pandangan yang dibalut dalam pengalaman penulis,
bukan maksud untuk menonjolkan diri, akan tetapi hanya bermaksud berbagi kepada
setiap para pembaca artikel ini adalah dalam praktik terlihat, bahwa sebagian besar
benda yang menjadi objek jaminan adalah tanah. Hal ini dikarenakan tanah mempunyai
nilai ekonomi yang senantiasa meningkat, mudah dijual, memiliki tanda bukti
hak, sulit untuk digelapkan dan jika dibebani dengan hak tanggungan memberikan
kedudukan yang istimewa kepada kreditur.
Dengan demikian, terhadap tanah yang menjadi objek
jaminan atau agunan yang diserahkan oleh debiturnya, harus dilakukan pengikatan
atau pembebanan hak tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). PPAT adalah seorang pejabat umum yang bertanggung jawab untuk membuat
surat keterangan tertulis yang dimaksudkan sebagai bukti dari perbuatan – perbuatan
hukum yang telah dilakukan.
Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk
pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur lain. Dalam arti, jika suatu saat debitur berbuat wanprestasi,
maka krediitur selaku pemegang Hak Tanggungan memiliki hak untuk menjual obyek hak
tanggungan dengan cara melalui pelelangan umum. Pemberian hak tanggungan
didahului dengan adanya perjanjian pokok, yakni perjanjian utang piutang, Dalam
Pasal 10 ayat (2) Undang – Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yakni “pemberian hak tanggungan
dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku” dan untuk
berlakunya suatu hak tanggungan telah diatur didalam Pasal 13 ayat (1) undang – undang yang senada seperti diatas yakni “Pemberian
hak tanggungan wajib di daftarkan pada kantor pertanahan”.
Setelah pemberian hak tanggungan dilakukan
dihadapan PPAT, maka terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) tersebut
harus dilakukan pendaftaran di kantor pertanahan setempat untuk terpenuhinya
syarat salah satu asas hak tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkanya pemberian hak
tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut dan
mengikatnya hak tanggungan terhadap pihak ketiga. Pasal 13 ayat (2) Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan juga menjelaskan “selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan
warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan”.
Dari uraian yang diurai oleh penulis diatas,
terkadang ada terbesit suatu imaji yang ingin di analisa dalam pandangan satu
frekuensi yang terukur, yakni bagaimana jika terlambat mendaftarkanya,
mengingat dalam rentan waktu 7 (tujuh hari) banyak kejadian teknis yang tidak
bisa di prediksi, apalagi jika dihadapkan pada posisi dimana hari ketujuh
tersebut adalah hari libur. Penulis mempunyai pengalaman yang coba di jelaskan
secara logis yakni jika pendaftaran APHT menjadi sertipikat hak tanggungan
mengalami keterlambatan yang seharusnya di daftarkan selama rentan waktu 7
(tujuh hari) sejak APHT tersebut di tanda tangani oleh kedua belah pihak tetapi
didaftarkan melebihi batas ketentuan tersebut maka BPN mewajibkan PPAT untuk
membuat surat pernyataan terlambat disertai alasan keterlambatan dan berkas
pendaftaran hak tanggungan tersebut bisa diterima dan tetap di proses dengan
alasan dalam pasal tentang pendaftaran APHT menjadi sertipikat hak tanggungan,
jika tidak memenuhi ketentuan batas APHT tersebut sah dan tetap bisa di
daftarkan.
Hal ini juga jelas tertuang dalam Pasal 114 ayat (7) Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
yakni “Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), (4), (5), dan (6) harus juga dilaksanakan oleh Kantor
Pertanahan walaupun pengiriman berkas oleh PPAT dilakukan sesudah waktu yang
ditetapkan pada ayat (1) dan (2). Keterlambatan pendaftaran APHT
tersebut tidak lantas membuat gugur APHT yang di daftarkan. APHT tetap sah dan
dapat di proses menjadi Sertipikat Hak tanggungan.
R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer
DAFTAR PUSTAKA
Undang
– Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
BUKU
Adrian
Sutedi, “Hukum hak Tanggungan”, Sinar
Grafika : Jakarta, 2012.
Efendy
Perangin, “Praktik Penggunaan Tanah
Sebagai Jaminan Kredit”, Rajawali Pers : Jakarta, 1991.
Irma
Devita Purnamasari, “Kiat – kiat Cerdas
dan Bijak Memahami Hukum jaminan Perbankan”, Kaifa : Jakarta, 2011.
Kartini
Muljadi Gunawan Widjaja, “Hak Tanggungan”,
Seri Hukum Harta Kekayaan : Jakarta, 2006.
Remy
Sjahdeni, “Hak Tanggungan Asas – asas
Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai
Undang – Undang Hak Tanggungan), Alumni : Bandung, 1999.
LAIN – LAIN
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah
No comments:
Post a Comment