Dear Pembaca
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI ASPEK PEMBAGIAN HARTA GONO –
GINI MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA, UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM SERTA PERBEDAANYA.
Legal opinion ini dibuat dengan maksud untuk menambah pengetahuan
serta wawasan terhadap pembaca, baik yang berlatar belakang ilmu hukum maupun
masyarakat pada umumnya. Dalam pembuatan legal
opinion ini pun penulis menemukan beberapa hambatan, akan tetapi karena di
dukung oleh peraturan perundang – undangan, literatur – literatur hukum,
artikel dan sumbangsih pemikiran – pemikiran dari beberapa praktisi hukum, maka
penulis bisa menyelesaikan Pendapat Hukum (legal
opinion) ini.
Penulis pun menerima saran maupun kritik yang
diberikan terhadap legal opinion ini
guna menjadi intropeksi serta parameter dalam berfikir dan menjadi lebih baik lagi
di kemudian hari dalam bidang hukum, tepatnya untuk menjadi professional Profesi sebagai Advokat /
Konsultan Hukum. Demikian disampaikan. Terima kasih
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam era globalisasi yang semakin dewasa dalam
berkehidupan sosial dewasa ini, kehidupan masyarakat sangat sering diwarnai
dengan perselisihan maupun masalah – masalah yang bertentangan dengan hukum.
Khususnya masalah harta bersama atau lebih sering didengar dalam kehidupan pada
saat ini dengan istilah gono – gini yang dialami oleh pasangan suami istri
dalam suatu perkawinan sah untuk menghadapi perceraian.
Perbincangan
masalah gono – gini sering menjadi hangat di masyarakat dan menyita perhatian public, terutama media massa dalam kasus
perceraian public figure atau seorang
artis terkait perselisihan tentang pembagian gono – gini atau harta bersama.
Perkara perceraian yang menjadi pokok perkara justru akan semakin rumit dan
berkelit – kelit bahkan sering memanas dalam sidang – sidang perceraian di
pengadilan bila dikomulasi dengan tuntutan pembagian gono – gini atau harta
bersama dalam perkara perceraian.
Oleh
karena itu, Mahkamah Agung RI dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan
peradilan agama mewanti – wanti agar gugatan pembagian harta bersama sedapat
mungkin diajukan setelah terjadi perceraian. Untuk yang beragama Islam, mereka
mengetahui bahwa Islam sebagai agama, memerintahkan penganutnya untuk mengikuti
sunnah Rasulnya. Salah satu sunah Rasul yang perlu diikuti adalah menikah bagi
yang mampu secara jasmaniah maupun rohaniah. Prinsip pernikahan adalah
membentuk keluarga atau rumah tangga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah dunia dan akhirat.
Meskipun
demikian, keluarga dalam konteks keduniaan bukanlah suatu yang abadi. Artinya,
keluarga memiliki awal dan akhir. Berakhirnya, suatu keluarga memiliki beberapa
faktor, diantaranya terjadinya perceraian, hilang salah satu pasangan dalam
kurun waktu yang sangat lama, dan
meninggal salah satu pasangan. Disamping itu, pernikahan merupakan salah satu
penyebab terjadinya harta bersama. Perceraian, baik cerai mati atau cerai hidup
mengandung berbagai akibat hukum. Salah satunya berkaitan dengan harta bersama
atau harta gono – gini.
Harta
bersama atau harta gono – gini ini ada ketika perkawinan berlangsung. Sedangkan
harta bawaan yang diperoleh sebelum berlangsungnya pernikahan tidak termasuk
harta gono – gini. Bila pernikahan terputus, di akibatkan meninggalnya suatu
pasangan, maka hak – hak dan kewajibanya diambil alih oleh keturunanya. Harta
bersama atau harta gono – gini tidak mudah diketahui, sebab hampir semua
masyarakat Indonesia tidak membedakan antara harta bersama dengan harta bawaan.
Oleh karena itulah ketika keluarga putus, sangat susah memisahkan harta bawaan
dan harta gono – gini. Hal ini diakibatkan oleh minimnya pemahaman masyarakat
tentang pentingnya hukum yang mengatur harta kepemilikan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas, berikut ini dijelaskan secara rinci dan ditarik beberapa
identifikasi masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam menguraikan legal opinion ini :
1. Apa pengertian harta bersama menurut Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata?
2. Apa pengertian harta
bersama menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?
3. Apa pengertian harta bersama menurut Hukum
Islam?
4. Apa perbedaan
dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Hukum Islam mengenai pembagian harta gono – gini?
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. PENGERTIAN HARTA
BERSAMA MENURUT KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM
PERDATA
Sebelum memasuki definisi dari harta bersama menurut
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata sebaiknya terlebih dahulu mengetahui arti
dari harta itu sendiri. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Harta adalah barang – barang (uang) dan
sebagainya yang menjadi kekayaan.
Harta Bersama memiliki makna harta yang diperoleh secara bersama di dalam
perkawinan. Jadi harta bersama adalah
barang – barang yang menjadi kekayaan yang diperoleh suami istri dalam
perkawinan.
Menurut
KUH-per berdasarkan asas marital macht,
maka Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2)
Kuh-per ditentukan bahwa “ Suami sendiri harus mengurus (beheren)
sendiri harta kekayaan perkawinan, tanpa campur tangan istri, suami
diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membeban”. Pasal 119 KUH-per menentukan bahwa, “
Mulai saat perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat
antara kekayaan suami istri sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak
diadakan dengan ketentuan lain. Persatuan harta kekayaan itu sepanjang
perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu
persetujuan antara suami dan istri apa pun”.
Jika ketentuan itu, suami istri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin
yang diatur dalam Pasal 139 sampai
dengan Pasal 145 KUH-Per.
Pasal 128 KUH-per sampai dengan Pasal
129 KUH-per, menentukan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami
istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri tanpa memperhatikan
dari pihak mana barang – barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh. Tentang
perjanjian kawin itu dibenarkan oleh Peraturan Perundang – undangan sepanjang
tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat.
Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing – masing
suami istri terhadap harta yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau
warisan adalah dibawah pengawasan masing – masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak
untuk berbuat sesuatu atau harta bersama itu atas persetujuan kedua belah
pihak. Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan
putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya
masing – masing.
B. PENGERTIAN HARTA
BERSAMA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Di dalam Undang
– Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Jadi harta bersama menurut aturan ini yang dijelaskan
tepatnya pada Pasal 35 – 37 adalah
harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan harta bawaan dari
masing – masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing – masing
sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing – masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Mengenai
harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak,
sedangkan mengenai harta bawaan masing – masing suami istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Jadi
apabila terjadi perceraian antara suami istri tersebut, maka mengenai harta
bersama diselesaikan menurut hukum Islam bagi suami istri atau pasangan yang
beragama Islam dan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata bagi pasangan
suami istri yang beragama non Islam.
Sebenarnya
apa yang disebutkan dalam Pasal 35 – 37
Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana tersebut
diatas itu adalah sejalan dengan ketentuan tentang hukum adat yang berlaku di
Indonesia. Dalam konsepsi hukum adat tentang harta bersama yang ada di
Nusantara ini banyak ditemukan prinsip masing – masing suami istri berhak
menguasai harta bendanya sendiri dan ini berlaku sebagaimana sebelum mereka
menjadi suami istri.
Apabila
ditinjau dari pendekatan filosofis, di mana perkawinan tidak lain dari ikatan
lahir batin di antara suami istri guna mewujudkan rumah tangga yang kekal dan
penuh dalam suasana kerukunan, maka hukum adat yang mengharapkan adanya
komunikasi yang terbuka dalam pengelolaan dan penguasaan harta pribadi
tersebut, sangat perlu dikembangkan sikap saling menghormati, saling membantu,
saling kerja sama dan saling bergantung. Dengan demikian, keabsahan menguasai
harta pribadi masing – masing pihak itu jangan merusak tatanan kedudukan suami
sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
C. PENGERTIAN HARTA
BERSAMA MENURUT HUKUM ISLAM
Dalam kitab – kitab fiqih klasik, harta gono – gini atau harta bersama diartikan
sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat
oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain bahwa harta gono – gini atau harta
bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi
percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibedakan lagi.
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta gono – gini
atau harta bersama itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa, agama Islam tidak
mengatur tentang harta gono – gini, oleh karena itu pembagian harta gono –gini
diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya. Sebagian ahli
hukum Islam yang lain mengatakan bahwa, tidak mungkin jika agama Islam mengatur
tentang harta gono – gini atau harta bersama, sedangkan hal – hal kecil saja
diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan dasar hukumnya.
Tidak
ada satu pun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan
hukum Islam. Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta gono – gini.
Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta
istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian
sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah harta miliknya. Masalah
harta bersama telah diatur secara singkat oleh Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dimana istri maupun suami mempunyai hak yang sama bila
terjadi perceraian.
Kemudian
harta bersama tersebut diperluas oleh Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang juga merupakan salah satu hukum materil bagi Peradilan
Agama. Adapun pengaturanya harta bersama di dalam KHI Bab XIII Pasal 85 – 97 Pengaturan yang pasal baru berkenaan
harta bersama ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara singkat dapat
diuraikan sebagai berikut :
a.
Harta
bersama terbentuk secara otomatis dengan dimulainya ikatan perkawinan, tanpa
memandang pihak mana yang bakal memperoleh harta bersama. Hal ini diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf f dan Pasal 85 sebagai berikut :
“ Harta kekayaan dalam perkawinan atau
syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri – sendiri atau bersama – sama
suami istri dalam perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama,
tanpa mempersoalkan terdaftaratas nama siapa”.
Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam
“Adanya harta bersama dalam perkawinan itu
tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing – masing suami istri
b.
Harta bersama dipisah dari harta pribadi masing – masing suami istri, harta
pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasi penuh oleh pemilik ketentuan
ini berdasar Kompilasi Hukum Islam Pasal 86 – 87 sebagai berikut :
Pasal 86
1) Pada dasarnya tidak ada percampuran
antara harta suami dan istri dkarena perkawinan
2)
Harta tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87
1)
Harta bawaan dan masing – masing suami
istri dan harta yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah penguasaan masing – masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2)
Suami dan istri bentuk sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas hukum
masing – masing berupa hibah, warisan, hadiah, dan lain – lain.
c. Apabila terjadi perselisihan tentang harta bersama antara suami
istri, maka perselisihanya harus diajukan ke Pengadilan Agama. Hal ini diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 88 sebagai berikut “ apabila terjadi
perselisihan itu diajukan ke Pengadilan Agama”.
d. Suami atau istri mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menjaga
keberadaan harta bersama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 89 dan
90 sebagai berikut :
Pasal
89 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
“
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta istri atau harta
sendiri”.
Pasal
90 Kompilasi Hukum Islam
“
Istri turut tanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada
padanya”.
e. Harta bersama meliputi benda berwujud yaitu benda bergerak, tidak
bergerak, surat – surat berharga dan benda tidak berwujud berupa hak maupun
kewajiban.
Hal
ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 90 :
1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal
85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak
2)
Harta bersama yang berwujud dapat
meliputi benda tidak bergerak dan surat – surat berharga
3) Harta bergerak yang tidak berwujud dapat
berupa hak maupun kewajiban
4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang
jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain
f. Apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama
dibagikan secara berimbang antara kedua pihak suami istri, sedangkan bila
perkawinan putus karena kematian maka setengah dari harta bersama itu diwariskan
kepada pihak yang masih hidup. Hal ini didasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 96 – 97 sebagai berikut :
Pasal
96 Kompilasi Hukum Islam
1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami
atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian
matinya pada hakiki atau matinya secara hukum atau dasar putusan Pengadilan
Agama.
Pasal
97 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
“
Janda atau duda cerai hidup masing – masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Setelah diuraikan mengenai aturan
– aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam diatas, perlu dicermati secara lebih
intensif, bahwasanya ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini bukanlah
suatu putusan hukum yang paten, jika suami istri sepakat membagi harta dengan
prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.
D. PERBEDAAN DALAM KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM
PERDATA, UNDANG – UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM
MENGENAI PEMBAGIAN HARTA GONO – GINI
Harta bersama pada umumnya dibagi dua sama rata di
antara suami istri. Hal ini di dasarkan pada ketentuan Pasal 128 KUH-per yang menyatakan bahwa “ setelah bubarnya persatuan,
maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami, atau istri, atau ahli waris
mereka masing – masing, dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah
barang – barang yang diperolehnya”. Sementara itu harta bawaan dan
harta perolehan tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing – masing yang
tidak perlu dibagikan secara bersama.
Pembagian harta bersama bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak
menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan hak istri.
Apabila terjadi perselisihan, maka harus merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 88 bahwa
“Apabila
terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”.
Penyelesaian melalui jalur Pengadilan adalah pilihan satu – satunya. Secara
umum pembagian harta bersama baru bisa dilakukan setalah adanya gugatan cerai.
Oleh
sebab itu daftar harta bersama dan bukti – buktinya dapat diproses, jika harta
tersebut diperoleh selama perkawinan dan dapat disebutkan dalam alasan
pengajuan cerai (posita), yang
kemudian di sebutkan dalam permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Namun, gugatan cerai belum
menyebutkan tentang pembagian harta bersama. Untuk itu, pihak suami atau pihak
istri perlu mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah adanya putusan yang
dikeluarkan Pengadilan. Bagi yang beragama Islam, gugatan tersebut diajukan ke
Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal tergugat, sedangkan bagi yang non
muslim gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.Ketentuan
tentang pembagian harta bersama didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan
suatu perkawinan, seperti kematian, perceraian, dan sebagainya.
Harta
bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinan itu
sudah terputus, hubungan perkawinan itu dapat terputus dengan alasan adanya
kematian, perceraian dan dapat juga oleh keputusan Pengadilan. Putusnya
hubungan perkawinan karena kematian mempunyai kekuatan hukum yang pasti sejak
kematian salah satu pihak. Secara hukum formil sejak saat itu harta bersama
sudah boleh dibagi, tetapi kenyataan pembagian itu baru dilakukan setelah acara
penguburan selesai, bahkan ada yang menunggu sampai acara empat puluh hari atau
seratus hari. Dalam hal ini apabila putusan hakim tidak mempunyai kekuatan
hukum pati maka harta bersama tersebut belum bisa dibagi.
Dalam
Pasal 37 Undang – Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Pasal
96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa
apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian, maka
masing – masing suami istri mendapatkan separuh dari harta bersama yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.
424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hukum
bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing – masing pihak (suami dan istri)
mendapatkan setengah bagian dari harta mereka.
Apabila
pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono – gini atau harta
bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagianya bisa
ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara
ini adalah sah, dan caraterbaik untuk penyelesaian. Dengan demikian, pembagian
harta gono – gini dapat ditempuh melalui putusan Pengadilan Agama atau melalui
musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu
pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain,
tergantung dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure keterpaksaan.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. KRONOLOGIS FAKTA
DAN ANALISA KASUS
Dalam pembahasan pada bab ini, perkenankan penulis
meminta maaf terlebih dahulu karena tidak meneliti kasus dari putusan
pengadilan, mengingat terlalu memakan banyak halaman dan di khawatirkan untuk
pembaca di luar bidang hukum akan mengalami kebimbangan dalam kepahaman. Oleh
sebab itu penulis meneliti secara logis dalam peristiwa sehari – hari yang
kerap terjadi di masyarakat mengenai masalah pembagian harta gono – gini pasca
suatu perkawinan yang diakhiri dengan putusan ikatan perkawinan yang biasa
dikenal dengan istilah perceraian.
Harta
gono – gini, alias harta bersama selama pernikahan kadang menimbulkan masalah
bagi beberapa pihak yang mengalami perceraian. Pembagian harta pun terkadang
dianggap tidak adil bagi satu pihak tertentu. Hal ini disebabkan karena pengetahuan
yang kurang akan pembagian harta tersebut. Berikut akan diuraikan beberapa
contoh kasus yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat mengenai pembagian
harta gono – gini;
1. HARTA BERSAMA BERUPA RUMAH YANG DIPEROLEH
SAAT SUDAH MENIKAH
Dalam kejadian ini ada suatu cara yang
mudah dalam menentukan sebuah harta termasuk gono – gini atau tidak, yakni
dengan membandingkan tanggal pernikahan atau perceraian dengan tanggal harta
yang diperoleh. Jika tanggal yang tercantum pada sertipikat adalah tanggal
setelah pernikahan dan sebelum terjadi perceraian, maka rumah atau harta
tersebut termasuk harta gono – gini. Beberapa suami atau istri sudah memiliki
harta sebelum menikah, seperti rumah dan tanah. Jika tanggal akta jual – beli
sebelum tanggal pernikahan, maka harta tersebut tidak termasuk harta gono –
gini. Untuk menjual rumah tersebut tidak diperlukan persetujuan siapapun.
Begitu pula dengan rumah atau tanah yang dimiliki oleh suami atau istri yang
merupakan warisan dari masing – masing pihak. Pasal 37 Undang – Undang No . 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
menetapkan secara tegas mengenai pembagian bagi suami atau istri yang bercerai.
Pasal 37 ayat (1) dengan undang –
undang yang sama menyebutkan bahwa pembagian harta gono – gini karena
perceraian diatur menurut hukum masing – masing.
2. SALAH SATU PASANGAN MENINGGAL DUNIA
Jika
suami istri yang sudah bercerai ternyata meninggal dunia dan pihak yang masih
hidup ingin menjual rumah atau tanah yang merupakan harta gono – gini, maka
diperlukan persetujuan dari pihak anaknya. Hal ini diperlukan karena sang anak
memiliki hak dari salah satu pihak yang meninggal dunia. Sebagai contoh, jika
suami meninggal dan sang istri ingin menjual rumahnya namun mereka sudah
bercerai maka sang istri harus meminta persetujuan sang anak karena anak juga
mewakili hak dari suami yang telah meninggal.
3. PERSETUJUAN ANAK
Persetujuan dari anak untuk menjual rumah harta
gono – gini, kondisinya berbeda – beda. Jika anak masih dibawah umur, maka
perlu ada surat perwalian dari Pengadilan. Kemudian jika anak sedang berada
diluar negeri, maka perlu ada surat persetujuan di atas materai dan dilegalisir
oleh perwakilan RI di negara setempat.
4. KETENTUAN KHUSUS
RUMAH HIBAH ATAU WARIS
Jika rumah atau tanah di dapat dari hibah
atau warisan maka tidak diperlukan persetujuan dari anak – anaknya. Contohnya
jika seorang istri mendapat harta warisan pada masa perkawinan, lalu berencana
akan menjual rumah atau tanah tersebut, ,maka ia tidak memerlukan persetujuan
dari anak – anaknya. Selain itu, harus ada juga bukti kematian sang suami dan
surat dari ahli waris dari kelurahan atau kecamatan.
B. PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
Secara filosofis suatu ikatan
perkawinan merupakan suatu hal yang sakral. Ajaran agama manapun yang ada di
Indonesia mengajarkan serta menganjurkan terhadap dua insan manusia yakni pria
maupun wanita jika sudah menghadapi usia yang ditentukan oleh peraturan
perundang – undangan dan sepakat diantara mereka untuk mengikat pada suatu
perkawinan maka wujudkanlah. Adapun demikian perkawinan itu dapat menjauhi diri dari tindak pidana
perzinahan, cibiran masyarakat dan yang paling utama untuk membentuk keluarga yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menjelaskan “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Dengan demikian, perkawinan senantiasa diharapkan berlangsung dengan bahagia
dan kekal, namun dalam kondisi dan keadaan tertentu perceraian merupakan hal
yang tidak dapat dihindari sebagai suatu kenyataan. Perceraian adalah peristiwa
hukum yang akan membawa berbagai akibat hukum, salah satunya adalah berkaitan
dengan harta bersama dalam perkawinan.
Pembagian
harta bersama dalam perkawinan menjadi masalah lain yang timbul setelah
perceraian terjadi. Permasalahan sering terjadi antara mantan suami dan istri
dalam pembagian harta bersama. Harta gono- gini adalah harta benda yang
dihasilkan suami istri selama masa perkawinan mereka. Perkawinan yang dimaksud
adalah perkawinan yang sah menurut agama dan undang – undang, yang diatur di
dalam Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Harta
bersama menurut Undang – Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan
perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal
35 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai
berikut :
1.
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan
dari masing – masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari
pengertian Pasal 35 diatas dapat
dipahami bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan
diluar harta warisan, hibah dan hadiah merupakan harta bersama. Karena itu
harta yang diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masing – masing
merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh masing –
masing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau harta bawaan.
Harta asal itu, akan diwarisi oleh masing – masing keluarganya bila pasangan
suami istri itu meninggal. Sedangkan definisi harta bersama, menurut Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata juga mengatur masalah harta bersama dalam
perkawinan.
Pasal 119 KUH-per menyatakan “bahwa
mulai sejak terjadinya suatu perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami
secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki istri”.
Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak
berakhir berakibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami istri
sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat
perjanjian didepan Notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 139 – 154 KUH-per.
Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 KUH-per menetapkan “bahwa kekayaan bersama dibagi dua antara
suami istri atau antara para ahli waris mereka, tanpa menyelesaikan dari pihak
mana asal barang – barang itu”. Harta gono – gini menjadi milik bersama
suami istri itu, walaupun yang bekerja hanya suami atau istri saja. Tentang
sejak kapan terbentuknya harta gono –gini, ditentukan menurut kewajaran, bukan
waktu. Pembagian harta gono – gini bagusnya dilakukan secara adil, sehingga
tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana
hak istri. Menurut Erna Wahyuningsih
dan Putu Samawati menjelaskan bahwa
harta bersama, sebagai berikut :
1.
Pembagian harta bersama dapat diajukan bersama dengan saat mengajukan gugatan
cerai dengan menyebutkan harta bersama dan bukti – bukti bahwa harta tersebut
diperoleh selama perkawinan dalam“posita” ( alasan mengajukan gugatan ).
2. Pembagian harta bersama diajukan setelah
adanya putusan perceraian, artinya mengajukan gugatan atas harta bersama
diajukan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal istri. Untuk non Islam
gugatan pembagian harta bersama diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal
termohon.
Harta
bersama baru dapat dibagi bila putusnya hubungan perkawinan karena kematian
menpunyai ketentuan hukum yang pasti sejak saat kematian salah satu pihak,
formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh dibagi. Apabila keputusan hakim
yang menentukan putusnya hubungan perkawinan belum mempunyai kekuatan pasti,
maka harta bersama antara suami dan istri itu belum dapat dibagi. Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal
9 Oktober 1968 Nomor 89/Sip/1968, selama seorang janda tidak kawin lagi dan
selama hidupnya harta bersama dipegang olehnya tidak dapat dibagi guna menjamin
penghidupanya.
Dalam
Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
putusnya perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama adalah harta
bersama tersebut dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 97 yang memuat ketentuan bahwa
janda atau duda cerai hidup masing – masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perkawinan.
Ketentuan dalam Inpres Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 97 dan selaras dengan ketentuan
dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, yaitu cara pembagianya biasanya
adalah dengan membagi rata, masing – masing ( suami istri ) mendapat setengah
bagian dari harta gono – gini tersebut. Harta bersama ini tidak dapat disamakan
dengan harta warisan, karena harta warisan adalah harta bawaan, bukanlah harta
bersama. Oleh sebab itu, harta warisan tidak dapat dibagi dalam pembagian harta
gono – gini sebagai akibat perceraian. Hal inilah yang menjadi pegangan Pengadilan
Agama dalam memutus pembagian harta gono – gini tersebut.
Ketentuan
mengenai pembagian dan besar porsi perolehan masing – masing suami istri dan
harta bersama apabila terjadi perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati,
atau suami istri hilang, dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam berbunyi “ janda atau duda cerai hidup
masing – masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan”. Tidak diperhitungkan siapa yang
bekerja, dan atas nama siapa harta bersama itu terdaftar. Selama dalam masa
perkawinan sesuai dengan Pasal 35 dan
Pasal 36 Undang – Undang Perkawinan, maka harta yang diperoleh tersebut
merupakan harta bersama, dan dibagi dua antara suami dan istri.
Ketentuan
tersebut sejalan dengan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang
mengandung abstrak hukum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing – masing
pihak ( suami dan istri ) mendapatkan setengah bagian dari harta bersama
mereka. Apabila pasangan suami istri
yang bercerai, kemudian masalah gono – gini atau harta bersamanya
dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagianya bisa ditentukan
berdasarkan kesepakatan atau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara ini adalah
sah dan cara terbaik untuk penyelesaianya. Dengan demikian, pembagian harta
gono – gini dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui
musyawarah.
Dalam Penyelesaian melalui
musyawarah ini, boleh saja apabila salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar
ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantung dari kesepakatan dan tanpa
adanya unsur keterpaksaan. Setelah
menguraikan legal opinion diatas, ada
aspek yang bisa ditarik sebagai benang merah mengenai salah satu asas yang dianut
oleh UU Perkawinan adalah asas ekualitas bagi suami istri. Dengan asas ini
berarti suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga
sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing – masing.
BAB
IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Untuk menyelesaikan proses pembagian harta bersama ini ada 3 hukum yang dapat
digunakan Majelis Hakim sebagai dasar untuk menyelesaikan proses pembagian
harta bersama, yakni hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam.
2. Dalam hukum perdata yaotu Pasal 128 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa
setelah
pembubaran persatuan ini harta benda kesatuan dibagi menjadi dua untuk masing –
masing bekas suami dan istri.
3.
Dalam hukum adat pembagian harta gono – gini dibagi berdasarkan hukum adat yang
berlaku masing – masing. Namun pada prinsipnya jika terjadi perceraian harta
gono – gini dibagi dua antara suami dan istri. Sedangkan berdasarkan hukum
Islam adalah Pasal 97 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang menyatakan bahwa harta bersama dalam perkawinan yang
putus karena cerai hidup pembagianya dibagi dua antara suami dan istri.
B. SARAN
1.
Untuk penggugat sebaiknya membicarakan
tentang pembagian harta tersebut secara musyawarah terlebih dahulu agar
permasalahan pembagian harta gono – gini diselesaikan dengan secara baik – baik
supaya tidak menimbulkan permusuhan antara kedua belah pihak.
2. Untuk tergugat sebaliknya, setelah ikatan
perkawinan dengan Penggugat terputus segera membagi harta bersama agar
dikemudian hari tidak menimbulkan permasalahan dan hubungan kedua belah pihak
tetap baik walaupun sudah menjadi mantan suami istri.
3. Untuk masyarakat yang menjalani kehidupan
berumah tangga apabila perkawinan mereka terputus karema perceraian jika masih
ada permasalahan yang belum diselesaikan sebaiknya cepat diselesaikan agar
masalah mantan suami istri tidak berlarut – larut yang nantinya akan
menimbulkan permusuhan antara mantan suami dan istri.
R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer
Pustaka
UNDANG – UNDANG
Indonesia. Undang – Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
B. BUKU
Ali
Zainudin, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2008.
Manan
Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2014.
Subekti.
R & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Jakarta : PT. Balai Pustaka Persero,
2014.
Dominiku
Rato , Hukum
Perkawinan dan Waris Adat di Indonesia, Sistem Kekerabatan, Perkawinan dan
Pewarisan Menurut Hukum Adat, Yogyakarta: Laksbang Presindo, 2015.
Ramulyo
Idris. M, Hukum
Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1999.
Sudarsono, “Kamus Hukum”, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Susanto
Dedi, Kupas
Tuntas Masalah Harta Gono - gini, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.
Susanto
Happy, Pembagian
Harta Gono – gini SaatTerjadi Perceraian, Jakarta: Visi Media, 2018.
Wahyuningsih
Erma dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan di Indonesia, Palembang: PT Rambang, 2006.
C. LAIN - LAIN
Alfarabi, “
Harta Bersama Gono – gini Hukum Perdata”, http://alfarabi1706.blogspot.com, Di
Akses Tanggal 8 Oktober 2019.
Anonim
“ Harta Gono - gini”, http://www.99.co.Indonsia.com, Di Akses Tanggal 10 Oktober 2019.
Anonim, “
Makalah Harta Gono - gini”,
http://www.academia.edu.com, Di Akses Tanggal 8 Oktober 2019.
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ”Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa”, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, di akses pada tanggal
9 Oktober 2019.
UNDANG – UNDANG
Indonesia. Undang – Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
B. BUKU
Ali
Zainudin, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2008.
Manan
Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2014.
Subekti.
R & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Jakarta : PT. Balai Pustaka Persero,
2014.
Dominiku
Rato , Hukum
Perkawinan dan Waris Adat di Indonesia, Sistem Kekerabatan, Perkawinan dan
Pewarisan Menurut Hukum Adat, Yogyakarta: Laksbang Presindo, 2015.
Ramulyo
Idris. M, Hukum
Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1999.
Sudarsono, “Kamus Hukum”, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Susanto
Dedi, Kupas
Tuntas Masalah Harta Gono - gini, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.
Susanto
Happy, Pembagian
Harta Gono – gini SaatTerjadi Perceraian, Jakarta: Visi Media, 2018.
Wahyuningsih
Erma dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan di Indonesia, Palembang: PT Rambang, 2006.
C. LAIN - LAIN
Alfarabi, “
Harta Bersama Gono – gini Hukum Perdata”, http://alfarabi1706.blogspot.com, Di
Akses Tanggal 8 Oktober 2019.
Anonim
“ Harta Gono - gini”, http://www.99.co.Indonsia.com, Di Akses Tanggal 10 Oktober 2019.
Anonim, “
Makalah Harta Gono - gini”,
http://www.academia.edu.com, Di Akses Tanggal 8 Oktober 2019.
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ”Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa”, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, di akses pada tanggal
9 Oktober 2019.
No comments:
Post a Comment