Thursday, 7 November 2019

LEGAL OPINON TINJAUAN YURIDIS MENGENAI ASPEK PEMBAGIAN HARTA GONO – GINi,


Dear Pembaca

LEGAL OPINON

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI ASPEK PEMBAGIAN HARTA GONO – GINI MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA, UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM SERTA PERBEDAANYA.
Legal opinion ini dibuat dengan maksud untuk menambah pengetahuan serta wawasan terhadap pembaca, baik yang berlatar belakang ilmu hukum maupun masyarakat pada umumnya. Dalam pembuatan legal opinion ini pun penulis menemukan beberapa hambatan, akan tetapi karena di dukung oleh peraturan perundang – undangan, literatur – literatur hukum, artikel dan sumbangsih pemikiran – pemikiran dari beberapa praktisi hukum, maka penulis bisa menyelesaikan Pendapat Hukum (legal opinion) ini.
Penulis pun menerima saran maupun kritik yang diberikan terhadap legal opinion ini guna menjadi intropeksi serta parameter dalam berfikir dan menjadi lebih baik lagi di kemudian hari dalam bidang hukum, tepatnya untuk menjadi professional Profesi sebagai Advokat / Konsultan Hukum. Demikian disampaikan. Terima kasih

      BAB I
      PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
            Dalam era globalisasi yang semakin dewasa dalam berkehidupan sosial dewasa ini, kehidupan masyarakat sangat sering diwarnai dengan perselisihan maupun masalah – masalah yang bertentangan dengan hukum. Khususnya masalah harta bersama atau lebih sering didengar dalam kehidupan pada saat ini dengan istilah gono – gini yang dialami oleh pasangan suami istri dalam suatu perkawinan sah untuk menghadapi perceraian.
            Perbincangan masalah gono – gini sering menjadi hangat di masyarakat dan menyita perhatian public, terutama media massa dalam kasus perceraian public figure atau seorang artis terkait perselisihan tentang pembagian gono – gini atau harta bersama. Perkara perceraian yang menjadi pokok perkara justru akan semakin rumit dan berkelit – kelit bahkan sering memanas dalam sidang – sidang perceraian di pengadilan bila dikomulasi dengan tuntutan pembagian gono – gini atau harta bersama dalam perkara perceraian.
            Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan peradilan agama mewanti – wanti agar gugatan pembagian harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian. Untuk yang beragama Islam, mereka mengetahui bahwa Islam sebagai agama, memerintahkan penganutnya untuk mengikuti sunnah Rasulnya. Salah satu sunah Rasul yang perlu diikuti adalah menikah bagi yang mampu secara jasmaniah maupun rohaniah. Prinsip pernikahan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dunia dan akhirat.
            Meskipun demikian, keluarga dalam konteks keduniaan bukanlah suatu yang abadi. Artinya, keluarga memiliki awal dan akhir. Berakhirnya, suatu keluarga memiliki beberapa faktor, diantaranya terjadinya perceraian, hilang salah satu pasangan dalam kurun waktu yang sangat  lama, dan meninggal salah satu pasangan. Disamping itu, pernikahan merupakan salah satu penyebab terjadinya harta bersama. Perceraian, baik cerai mati atau cerai hidup mengandung berbagai akibat hukum. Salah satunya berkaitan dengan harta bersama atau harta gono – gini.
            Harta bersama atau harta gono – gini ini ada ketika perkawinan berlangsung. Sedangkan harta bawaan yang diperoleh sebelum berlangsungnya pernikahan tidak termasuk harta gono – gini. Bila pernikahan terputus, di akibatkan meninggalnya suatu pasangan, maka hak – hak dan kewajibanya diambil alih oleh keturunanya. Harta bersama atau harta gono – gini tidak mudah diketahui, sebab hampir semua masyarakat Indonesia tidak membedakan antara harta bersama dengan harta bawaan. Oleh karena itulah ketika keluarga putus, sangat susah memisahkan harta bawaan dan harta gono – gini. Hal ini diakibatkan oleh minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya hukum yang mengatur harta kepemilikan.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
             Berdasarkan latar belakang diatas, berikut ini dijelaskan secara rinci dan ditarik beberapa identifikasi masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam menguraikan legal opinion ini :
1.  Apa pengertian harta bersama menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata?
2. Apa pengertian harta bersama menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?
3.  Apa pengertian harta bersama menurut Hukum Islam?
4. Apa perbedaan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam mengenai pembagian harta gono – gini?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN HARTA BERSAMA MENURUT KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM
PERDATA
            Sebelum memasuki definisi dari harta bersama menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata sebaiknya terlebih dahulu mengetahui arti dari harta itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Harta adalah barang – barang (uang) dan sebagainya yang menjadi kekayaan. Harta Bersama memiliki makna harta yang diperoleh secara bersama di dalam perkawinan.  Jadi harta bersama adalah barang – barang yang menjadi kekayaan yang diperoleh suami istri dalam perkawinan.
            Menurut KUH-per berdasarkan asas marital macht, maka Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) Kuh-per ditentukan bahwa “ Suami sendiri harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan, tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membeban”. Pasal 119 KUH-per menentukan bahwa, “ Mulai saat perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara kekayaan suami istri sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan dengan ketentuan lain. Persatuan harta kekayaan itu sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri apa pun”. Jika ketentuan itu, suami istri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 145 KUH-Per.
Pasal 128 KUH-per sampai dengan Pasal 129 KUH-per, menentukan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri tanpa memperhatikan dari pihak mana barang – barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh. Tentang perjanjian kawin itu dibenarkan oleh Peraturan Perundang – undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
            Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing – masing suami istri terhadap harta yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah pengawasan masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing – masing.

B. PENGERTIAN HARTA BERSAMA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
            Di dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi harta bersama menurut aturan ini yang dijelaskan tepatnya pada Pasal 35 – 37 adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan harta bawaan dari masing – masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
            Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing – masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Jadi apabila terjadi perceraian antara suami istri tersebut, maka mengenai harta bersama diselesaikan menurut hukum Islam bagi suami istri atau pasangan yang beragama Islam dan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata bagi pasangan suami istri yang beragama non Islam.
            Sebenarnya apa yang disebutkan dalam Pasal 35 – 37 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana tersebut diatas itu adalah sejalan dengan ketentuan tentang hukum adat yang berlaku di Indonesia. Dalam konsepsi hukum adat tentang harta bersama yang ada di Nusantara ini banyak ditemukan prinsip masing – masing suami istri berhak menguasai harta bendanya sendiri dan ini berlaku sebagaimana sebelum mereka menjadi suami istri.
            Apabila ditinjau dari pendekatan filosofis, di mana perkawinan tidak lain dari ikatan lahir batin di antara suami istri guna mewujudkan rumah tangga yang kekal dan penuh dalam suasana kerukunan, maka hukum adat yang mengharapkan adanya komunikasi yang terbuka dalam pengelolaan dan penguasaan harta pribadi tersebut, sangat perlu dikembangkan sikap saling menghormati, saling membantu, saling kerja sama dan saling bergantung. Dengan demikian, keabsahan menguasai harta pribadi masing – masing pihak itu jangan merusak tatanan kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

C. PENGERTIAN HARTA BERSAMA MENURUT HUKUM ISLAM
            Dalam kitab – kitab fiqih klasik, harta gono – gini atau harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain bahwa harta gono – gini atau harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibedakan lagi. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta gono – gini atau harta bersama itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa, agama Islam tidak mengatur tentang harta gono – gini, oleh karena itu pembagian harta gono –gini diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya. Sebagian ahli hukum Islam yang lain mengatakan bahwa, tidak mungkin jika agama Islam mengatur tentang harta gono – gini atau harta bersama, sedangkan hal – hal kecil saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan dasar hukumnya.
            Tidak ada satu pun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta gono – gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah harta miliknya. Masalah harta bersama telah diatur secara singkat oleh Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana istri maupun suami mempunyai hak yang sama bila terjadi perceraian.
            Kemudian harta bersama tersebut diperluas oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang juga merupakan salah satu hukum materil bagi Peradilan Agama. Adapun pengaturanya harta bersama di dalam KHI Bab XIII Pasal 85 – 97 Pengaturan yang pasal baru berkenaan harta bersama ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Harta bersama terbentuk secara otomatis dengan dimulainya ikatan perkawinan, tanpa memandang pihak mana yang bakal memperoleh harta bersama. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf f dan Pasal 85 sebagai berikut :
     “ Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri – sendiri atau bersama – sama suami istri dalam perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftaratas nama siapa”.
     Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam
     “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing – masing suami istri
b. Harta bersama dipisah dari harta pribadi masing – masing suami istri, harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasi penuh oleh pemilik ketentuan ini berdasar Kompilasi Hukum Islam Pasal 86 – 87 sebagai berikut :
     Pasal 86
     1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri dkarena perkawinan
2) Harta tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi   hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87
1)  Harta bawaan dan masing – masing suami istri dan harta yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2) Suami dan istri bentuk sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas hukum masing – masing berupa hibah, warisan, hadiah, dan lain – lain.
c. Apabila terjadi perselisihan tentang harta bersama antara suami istri, maka perselisihanya harus diajukan ke Pengadilan Agama. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 88 sebagai berikut “ apabila terjadi perselisihan itu diajukan ke Pengadilan Agama”.
d.  Suami atau istri mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menjaga keberadaan harta bersama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 89 dan 90 sebagai berikut :
     Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
     “ Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta istri atau harta sendiri”.
     Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam
     “ Istri turut tanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya”.
e.  Harta bersama meliputi benda berwujud yaitu benda bergerak, tidak bergerak, surat – surat berharga dan benda tidak berwujud berupa hak maupun kewajiban.
     Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 90 :
1)  Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak
2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak dan surat – surat berharga
     3)  Harta bergerak yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban
4)  Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain
f.   Apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama dibagikan secara berimbang antara kedua pihak suami istri, sedangkan bila perkawinan putus karena kematian maka setengah dari harta bersama itu diwariskan kepada pihak yang masih hidup. Hal ini didasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 96 – 97 sebagai berikut :
     Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam
1)  Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
2)  Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya pada hakiki atau matinya secara hukum atau dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
“ Janda atau duda cerai hidup masing – masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

            Setelah diuraikan mengenai aturan – aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam diatas, perlu dicermati secara lebih intensif, bahwasanya ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini bukanlah suatu putusan hukum yang paten, jika suami istri sepakat membagi harta dengan prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.

D. PERBEDAAN DALAM KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA, UNDANG – UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM MENGENAI PEMBAGIAN HARTA GONO – GINI

            Harta bersama pada umumnya dibagi dua sama rata di antara suami istri. Hal ini di dasarkan pada ketentuan Pasal 128 KUH-per yang menyatakan bahwa “ setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami, atau istri, atau ahli waris mereka masing – masing, dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang – barang yang diperolehnya”. Sementara itu harta bawaan dan harta perolehan tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing – masing yang tidak perlu dibagikan secara bersama. Pembagian harta bersama bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan hak istri. Apabila terjadi perselisihan, maka harus merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 88 bahwa “Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”. Penyelesaian melalui jalur Pengadilan adalah pilihan satu – satunya. Secara umum pembagian harta bersama baru bisa dilakukan setalah adanya gugatan cerai.
            Oleh sebab itu daftar harta bersama dan bukti – buktinya dapat diproses, jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan dan dapat disebutkan dalam alasan pengajuan cerai (posita), yang kemudian di sebutkan dalam permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Namun, gugatan cerai belum menyebutkan tentang pembagian harta bersama. Untuk itu, pihak suami atau pihak istri perlu mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah adanya putusan yang dikeluarkan Pengadilan. Bagi yang beragama Islam, gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal tergugat, sedangkan bagi yang non muslim gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.Ketentuan tentang pembagian harta bersama didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan suatu perkawinan, seperti kematian, perceraian, dan sebagainya.
            Harta bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinan itu sudah terputus, hubungan perkawinan itu dapat terputus dengan alasan adanya kematian, perceraian dan dapat juga oleh keputusan Pengadilan. Putusnya hubungan perkawinan karena kematian mempunyai kekuatan hukum yang pasti sejak kematian salah satu pihak. Secara hukum formil sejak saat itu harta bersama sudah boleh dibagi, tetapi kenyataan pembagian itu baru dilakukan setelah acara penguburan selesai, bahkan ada yang menunggu sampai acara empat puluh hari atau seratus hari. Dalam hal ini apabila putusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum pati maka harta bersama tersebut belum bisa dibagi.
            Dalam Pasal 37 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing – masing suami istri mendapatkan separuh dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hukum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing – masing pihak (suami dan istri) mendapatkan setengah bagian dari harta mereka.
            Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono – gini atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagianya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara ini adalah sah, dan caraterbaik untuk penyelesaian. Dengan demikian, pembagian harta gono – gini dapat ditempuh melalui putusan Pengadilan Agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantung dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure keterpaksaan.

BAB III
PEMBAHASAN

A. KRONOLOGIS FAKTA DAN ANALISA KASUS
            Dalam pembahasan pada bab ini, perkenankan penulis meminta maaf terlebih dahulu karena tidak meneliti kasus dari putusan pengadilan, mengingat terlalu memakan banyak halaman dan di khawatirkan untuk pembaca di luar bidang hukum akan mengalami kebimbangan dalam kepahaman. Oleh sebab itu penulis meneliti secara logis dalam peristiwa sehari – hari yang kerap terjadi di masyarakat mengenai masalah pembagian harta gono – gini pasca suatu perkawinan yang diakhiri dengan putusan ikatan perkawinan yang biasa dikenal dengan istilah perceraian.
            Harta gono – gini, alias harta bersama selama pernikahan kadang menimbulkan masalah bagi beberapa pihak yang mengalami perceraian. Pembagian harta pun terkadang dianggap tidak adil bagi satu pihak tertentu. Hal ini disebabkan karena pengetahuan yang kurang akan pembagian harta tersebut. Berikut akan diuraikan beberapa contoh kasus yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat mengenai pembagian harta gono – gini;
1.  HARTA BERSAMA BERUPA RUMAH YANG DIPEROLEH SAAT SUDAH MENIKAH
     Dalam kejadian ini ada suatu cara yang mudah dalam menentukan sebuah harta termasuk gono – gini atau tidak, yakni dengan membandingkan tanggal pernikahan atau perceraian dengan tanggal harta yang diperoleh. Jika tanggal yang tercantum pada sertipikat adalah tanggal setelah pernikahan dan sebelum terjadi perceraian, maka rumah atau harta tersebut termasuk harta gono – gini. Beberapa suami atau istri sudah memiliki harta sebelum menikah, seperti rumah dan tanah. Jika tanggal akta jual – beli sebelum tanggal pernikahan, maka harta tersebut tidak termasuk harta gono – gini. Untuk menjual rumah tersebut tidak diperlukan persetujuan siapapun. Begitu pula dengan rumah atau tanah yang dimiliki oleh suami atau istri yang merupakan warisan dari masing – masing pihak. Pasal 37 Undang – Undang No . 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menetapkan secara tegas mengenai pembagian bagi suami atau istri yang bercerai. Pasal 37 ayat (1) dengan undang – undang yang sama menyebutkan bahwa pembagian harta gono – gini karena perceraian diatur menurut hukum masing – masing.
2.  SALAH SATU PASANGAN MENINGGAL DUNIA
    Jika suami istri yang sudah bercerai ternyata meninggal dunia dan pihak yang masih hidup ingin menjual rumah atau tanah yang merupakan harta gono – gini, maka diperlukan persetujuan dari pihak anaknya. Hal ini diperlukan karena sang anak memiliki hak dari salah satu pihak yang meninggal dunia. Sebagai contoh, jika suami meninggal dan sang istri ingin menjual rumahnya namun mereka sudah bercerai maka sang istri harus meminta persetujuan sang anak karena anak juga mewakili hak dari suami yang telah meninggal.
3PERSETUJUAN ANAK
    Persetujuan dari anak untuk menjual rumah harta gono – gini, kondisinya berbeda – beda. Jika anak masih dibawah umur, maka perlu ada surat perwalian dari Pengadilan. Kemudian jika anak sedang berada diluar negeri, maka perlu ada surat persetujuan di atas materai dan dilegalisir oleh perwakilan RI di negara setempat.
4. KETENTUAN KHUSUS RUMAH HIBAH ATAU WARIS
    Jika rumah atau tanah di dapat dari hibah atau warisan maka tidak diperlukan persetujuan dari anak – anaknya. Contohnya jika seorang istri mendapat harta warisan pada masa perkawinan, lalu berencana akan menjual rumah atau tanah tersebut, ,maka ia tidak memerlukan persetujuan dari anak – anaknya. Selain itu, harus ada juga bukti kematian sang suami dan surat dari ahli waris dari kelurahan atau kecamatan.

B. PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
                 Secara filosofis suatu ikatan perkawinan merupakan suatu hal yang sakral. Ajaran agama manapun yang ada di Indonesia mengajarkan serta menganjurkan terhadap dua insan manusia yakni pria maupun wanita jika sudah menghadapi usia yang ditentukan oleh peraturan perundang – undangan dan sepakat diantara mereka untuk mengikat pada suatu perkawinan maka wujudkanlah. Adapun demikian perkawinan  itu dapat menjauhi diri dari tindak pidana perzinahan, cibiran masyarakat dan yang paling utama untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
                 Pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, perkawinan senantiasa diharapkan berlangsung dengan bahagia dan kekal, namun dalam kondisi dan keadaan tertentu perceraian merupakan hal yang tidak dapat dihindari sebagai suatu kenyataan. Perceraian adalah peristiwa hukum yang akan membawa berbagai akibat hukum, salah satunya adalah berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan.
                 Pembagian harta bersama dalam perkawinan menjadi masalah lain yang timbul setelah perceraian terjadi. Permasalahan sering terjadi antara mantan suami dan istri dalam pembagian harta bersama. Harta gono- gini adalah harta benda yang dihasilkan suami istri selama masa perkawinan mereka. Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah menurut agama dan undang – undang, yang diatur di dalam Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
                 Harta bersama menurut Undang – Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 35 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai berikut :
     1.  Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing – masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

            Dari pengertian Pasal 35 diatas dapat dipahami bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan diluar harta warisan, hibah dan hadiah merupakan harta bersama. Karena itu harta yang diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masing – masing merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh masing – masing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau harta bawaan. Harta asal itu, akan diwarisi oleh masing – masing keluarganya bila pasangan suami istri itu meninggal. Sedangkan definisi harta bersama, menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata juga mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan.
            Pasal 119 KUH-per menyatakan “bahwa mulai sejak terjadinya suatu perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki istri”. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir berakibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami istri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian didepan Notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139 – 154 KUH-per. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 KUH-per menetapkan “bahwa kekayaan bersama dibagi dua antara suami istri atau antara para ahli waris mereka, tanpa menyelesaikan dari pihak mana asal barang – barang itu”. Harta gono – gini menjadi milik bersama suami istri itu, walaupun yang bekerja hanya suami atau istri saja. Tentang sejak kapan terbentuknya harta gono –gini, ditentukan menurut kewajaran, bukan waktu. Pembagian harta gono – gini bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana hak istri. Menurut Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa harta bersama, sebagai berikut :
1. Pembagian harta bersama dapat diajukan bersama dengan saat mengajukan gugatan cerai dengan menyebutkan harta bersama dan bukti – bukti bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam“posita” ( alasan mengajukan gugatan ).
2.  Pembagian harta bersama diajukan setelah adanya putusan perceraian, artinya mengajukan gugatan atas harta bersama diajukan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal istri. Untuk non Islam gugatan pembagian harta bersama diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal termohon.

            Harta bersama baru dapat dibagi bila putusnya hubungan perkawinan karena kematian menpunyai ketentuan hukum yang pasti sejak saat kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh dibagi. Apabila keputusan hakim yang menentukan putusnya hubungan perkawinan belum mempunyai kekuatan pasti, maka harta bersama antara suami dan istri itu belum dapat dibagi. Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal 9 Oktober 1968 Nomor 89/Sip/1968, selama seorang janda tidak kawin lagi dan selama hidupnya harta bersama dipegang olehnya tidak dapat dibagi guna menjamin penghidupanya.
            Dalam Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI) putusnya perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama adalah harta bersama tersebut dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 97 yang memuat ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing – masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perkawinan. Ketentuan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 97 dan selaras dengan ketentuan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, yaitu cara pembagianya biasanya adalah dengan membagi rata, masing – masing ( suami istri ) mendapat setengah bagian dari harta gono – gini tersebut. Harta bersama ini tidak dapat disamakan dengan harta warisan, karena harta warisan adalah harta bawaan, bukanlah harta bersama. Oleh sebab itu, harta warisan tidak dapat dibagi dalam pembagian harta gono – gini sebagai akibat perceraian. Hal inilah yang menjadi pegangan Pengadilan Agama dalam memutus pembagian harta gono – gini tersebut.
            Ketentuan mengenai pembagian dan besar porsi perolehan masing – masing suami istri dan harta bersama apabila terjadi perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, atau suami istri hilang, dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam berbunyi “ janda atau duda cerai hidup masing – masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Tidak diperhitungkan siapa yang bekerja, dan atas nama siapa harta bersama itu terdaftar. Selama dalam masa perkawinan sesuai dengan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang – Undang Perkawinan, maka harta yang diperoleh tersebut merupakan harta bersama, dan dibagi dua antara suami dan istri.
            Ketentuan tersebut sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstrak hukum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing – masing pihak ( suami dan istri ) mendapatkan setengah bagian dari harta bersama mereka. Apabila pasangan suami istri  yang bercerai, kemudian masalah gono – gini atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagianya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara ini adalah sah dan cara terbaik untuk penyelesaianya. Dengan demikian, pembagian harta gono – gini dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah.
Dalam Penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja apabila salah  satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantung dari kesepakatan dan tanpa adanya unsur keterpaksaan. Setelah menguraikan legal opinion diatas, ada aspek yang bisa ditarik sebagai benang merah mengenai salah satu asas yang dianut oleh UU Perkawinan adalah asas ekualitas bagi suami istri. Dengan asas ini berarti suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing – masing.

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Untuk menyelesaikan proses pembagian harta bersama ini ada 3 hukum yang dapat digunakan Majelis Hakim sebagai dasar untuk menyelesaikan proses pembagian harta bersama, yakni hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam.
2.  Dalam hukum perdata yaotu Pasal 128 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa setelah pembubaran persatuan ini harta benda kesatuan dibagi menjadi dua untuk masing – masing bekas suami dan istri.
3. Dalam hukum adat pembagian harta gono – gini dibagi berdasarkan hukum adat yang berlaku masing – masing. Namun pada prinsipnya jika terjadi perceraian harta gono – gini dibagi dua antara suami dan istri. Sedangkan berdasarkan hukum Islam adalah Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa harta bersama dalam perkawinan yang putus karena cerai hidup pembagianya dibagi dua antara suami dan istri.

B. SARAN
1. Untuk penggugat sebaiknya membicarakan tentang pembagian harta tersebut secara musyawarah terlebih dahulu agar permasalahan pembagian harta gono – gini diselesaikan dengan secara baik – baik supaya tidak menimbulkan permusuhan antara kedua belah pihak.
2.  Untuk tergugat sebaliknya, setelah ikatan perkawinan dengan Penggugat terputus segera membagi harta bersama agar dikemudian hari tidak menimbulkan permasalahan dan hubungan kedua belah pihak tetap baik walaupun sudah menjadi mantan suami istri.
3.  Untuk masyarakat yang menjalani kehidupan berumah tangga apabila perkawinan mereka terputus karema perceraian jika masih ada permasalahan yang belum diselesaikan sebaiknya cepat diselesaikan agar masalah mantan suami istri tidak berlarut – larut yang nantinya akan menimbulkan permusuhan antara mantan suami dan istri.

R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer

Pustaka
UNDANG – UNDANG
Indonesia. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
B. BUKU
Ali Zainudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2008.
Manan Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2014.
Subekti. R & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Jakarta : PT. Balai Pustaka Persero, 2014.
Dominiku Rato , Hukum Perkawinan dan Waris Adat di Indonesia, Sistem Kekerabatan, Perkawinan dan Pewarisan Menurut Hukum Adat, Yogyakarta: Laksbang Presindo, 2015.
Ramulyo Idris. M, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Sudarsono, “Kamus Hukum”, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Susanto Dedi, Kupas Tuntas Masalah Harta Gono - gini, Yogyakarta:  Pustaka Yustisia, 2011.
Susanto Happy, Pembagian Harta Gono – gini SaatTerjadi Perceraian, Jakarta: Visi Media, 2018.
Wahyuningsih Erma dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan di Indonesia, Palembang:  PT Rambang, 2006.
C. LAIN - LAIN
Alfarabi, “ Harta Bersama Gono – gini Hukum Perdata”, http://alfarabi1706.blogspot.com, Di Akses Tanggal 8 Oktober 2019.
Anonim “ Harta Gono - gini”, http://www.99.co.Indonsia.com, Di Akses Tanggal 10 Oktober 2019.
Anonim, “ Makalah Harta Gono - gini”, http://www.academia.edu.com, Di Akses Tanggal 8 Oktober 2019.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa”, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, di akses pada tanggal  9 Oktober 2019.



           
           
           


           


No comments:

Post a Comment

FILOSOFI "BELAJAR HUKUM KUY"

    Berangkat dari gejolak sanubari yang terdalam terhadap keterbatasan pengeta...

Resume Online