Sunday, 22 December 2019

ARUS KODIFIKASI HUKUM SEMAKIN TINGGI HINGGA MEMBUAT PERAN HUKUM TIDAK TERTULIS SEMAKIN MENGECIL TERHADAP SUMBER HUKUM


Dear Pembaca


   
Sebelum memasuki analisa yang akan membuat pembaca artikel ini larut dalam tema yang diangkat penulis. Penulis akan menguraikan tapak tilas keberadaan sumber hukum tidak tertulis yang sudah ada dan menjadi sumber hukum. Keberadaan sumber hukum tidak tertulis juga bisa menjadi suatu acuan, jika tidak ada peraturan hukum untuk penerapan suatu perkara hukum. Sejak zaman penjajahan Belanda, dikenal dual sistem sumber hukum. Semula kehidupan masyarakat Indonesia diatur oleh hukum tidak tertulis yang disebut hukum adat. Setelah penjajahan Belanda, mulai diperkenalkan bentuk perundang – undangan yang hidup berdampingan dengan hukum adat. Berdasarkan kenyataan historis tersebut,  sejak zaman penjajahan, Indonesia menganut sekaligus sistem hukum adat yang mirip dengan Common law system dengan statue law system yang dianut negara – negara continental. Pengakuan atas eksistensi hukum adat diatur dalam Pasal 131 IS (Inlaands Staats Regeling, S 1925 – 447) sebagai landasan politik hukum. Pada ayat (1) huruf b diakui berlaku hukum adat bagi golongan penduduk pribumi.
                Kebijaksanaan politik hukum tersebut, masih tetap dipertahankan Pasal 23 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, yang menegaskan putusan pengadilan ;
1.   Harus membuat pasal – pasal peraturan perundang – undangan yang bersangkutan atau ;
2.   Sumber hukum tak tertulis.
Kebijaksanaan itu dipertegas lagi dalam Pasal 27 ayat (1) serta dalam penjelasanya yang mengatakan, oleh karena Indonesia masih mengenal hukum tidak tertulis, Hakim berfungsi perumusan dan penggalinya dari nilai – nilai hukum yang hidup dikalangan masyarakat. Untuk itu, Hakim harus terjun ke tengah – tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
                Dari penjelasan kalimat diatas, baik berdasarkan Pasal 131 I S maupun Pasal 23 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, hukum adat masih tetap diakui sebagai tata hukum berdampingan dengan tata hukum Barat dan tata hukum Islam. Oleh karena itu dalam praktik Peradilan, nilai – nilai hukum adat baik secara subtansial dan terutama asas – asasnya , masih tetap memiliki validitas dan otoritas. Bahkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria, keberadaan hukum adat diakui secara tegas. Pasal 3 mengatakan, pelaksanaan hak ulayat dan hak – hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, harus tetap diperlakukan sepanjang menurut kenyataanya masih ada.
                Setelah terurai dari tapak tilas suatu aturan hukum tidak tertulis hingga eksistensinya terhadap hukum adat yang masih diakui sepanjang kenyataanya masih ada, mengapa peran hukum adat makin kesini makin mengecil. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab semakin mengecilnya peranya dalam menyelesaikan sengketa di Pengadilan, antara lain sebagai berikut ;
1. Hapusnya Politik Pembagian Golongan Penduduk ;
2. Arus Proses Horizontal dan Vertikal ;
3. Arus Kodifikasi Semakin Tinggi ;
4. Pengaruh Globalisasi.
Jadi walaupun arus kodifikasi semakin tinggi serta terus menggerus eksistensi keberadaan hukum tidak tertulis, sebagai seseorang yang paham akan pandangan yuridis, semestinya menjadikan suatu hukum tidak tertulis ini menjadi suatu pijakan pemikiran bila terjadi kebuntuan akan tidak adanya suatu aturan yang belum mengatur suatu permasalahan hukum di dalam menyelesaikanya, dan begitupun penulis mengadopsi pemahan akan hal itu.

R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer


Pustaka


M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata", Jakarta : Sinar Grafika, 2016.

PROBLEMATIKA DALAM HUKUM YANG DINAMIS DIMANA HAKIM DIANGGAP MENGETAHUI SEMUA HUKUM SESUAI DENGAN ADAGIUM (CURIA NOVIT JUS)


Dear Pembaca


       
Hal yang melatarbelakangi penulis mengangkat tema ini sebagai artikel pada blog penulis yakni, dalam keseharian penulis sebagai praktisi hukum dan blogger kerap kali dihadapkan pada kondisi seperti tema diatas didalam menjalankan rutinitas keseharian. Menjadi suatu hal yang mengganggu pikiran jika tidak dituangkan dalam suatu penulisan. Diantara para penegak hukum seperti Advokat, Jaksa, Polisi serta Hakim, Hakim mempunyai pertarungan terhadap suatu aturan hukum yang semestinya hingga melihat pada nurani yang mendalam atas keyakinanya dalam memutus suatu perkara. Selain itu seorang Hakim pun mempunyai tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di akhir kehidupan nanti, atas apapun yang diputuskan dalam menjalankan profesi sebagai hakim semasa hidupnya.
                Hakim dianggap mengetahui semua hukum (curia novit jus ). Prinsip ini ditegaskan juga dalam penjelasan Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970, diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999. Meskipun hal itu tidak disebut dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, ketentuan ini dianggap tetap melekat pada UU No. 4 Tahun 2004 sesuai dengan keberadaanya sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970. Dikatakan Hakim sebagai organ pengadilan : (1) Dianggap memahami hukum, (2) Oleh karena itu harus memberi pelayanan setiap pencari keadilan yang memohon keadilan kepadanya dan (3) Apabila Hakim dalam memberi pelayanan menyelesaikan sengketa, tidak menemukan hukum tertulis, Hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan perkara berdasar hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh Kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara.
                Berdasarkan adagium curia novit jus, Hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum. Dengan demikian, Hakim yang berwenang menentukan hukum objektif mana yang harus diterapkan (toepassing) sesuai dengan materi pokok perkara yang menyangkut hubungan hukum pihak – pihak yang berperkara dalam konkreto. Karena itu soal menemukan dan menerapkan hukum objektif, bukan hak dan kewenangan para pihak, tetapi mutlak menjadi kewajiban dan kewenangan Hakim. Para pihak tidak wajib membuktikan hukum apa yang harus diterapkan, karena hakim dianggap mengetahui segala hukum.
                Adagium atas prinsip curia novit jus pada dasarnya hanya teori dan asumsi. Dalam kenyataan anggapan itu keliru, karena bagaimanapun luasnya seorang pengalaman Hakim, tidak mungkin mengetahui segala hukum yang begitu luas dan kompleks. Namun adagium itu sengaja dikedepankan untuk mengokohkan fungsi dan kewajiban hakim agar benar – benar mengadili perkara yang diperiksanya berdasarkan hukum, bukan diluar hukum. Sebaliknya adagium itu mengandung sisi negatif berupa arogansi dan kecerobohan. Timbul perasaan super, dan menganggap sepi kebenaran hukum objektif yang dikemukakan para pihak, dan merasa dirinya tahu segala hal dengan alasan, Hakim paling tahu segala hukum. Padahal yang menyangkut hukum bisnis yang berkenaan dengan transaksi berskala Internasional, barang kali pengetahuan Hakim sangat terbatas. Menghadapi hal yang demikian, Hakim harus berani membuang jauh – jauh perasaan super, dan mau menerima dasar – dasar hukumnya yang dikemukakan para pihak agar putusan yang dijatuhkan tidak menyimpang dari ketentuan dan jiwa hukum objektif yang sebenarnya.
           Perlu dicermati juga bahwasanya Hakim merupakan manusia biasa yang tak luput akan kekeliruan dalam menjalankan tugasnya, maka dari hal itu para pihak yang berperkara di Pengadilan harus tetap bisa membuktikan akan dalil - dalil yang diucap dan paham betul akan suatu konteks hukum, baik hukum materill maupun hukum formil dalam beracara. Hormatilah proses hukum yang berjalan serta tetap mengedepankan professional profesi yang dibalut dengan kode etik. Karena bagaimanapun keadilan yang seutuhnya merupakan hak semua para pencari keadilan.
R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer


Pustaka

M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata", Jakarta : Sinar Grafika, 2016.

Sunday, 15 December 2019

PERSPEKTIF YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DENGAN MEDIA INTERNET (ONLINE) DITENGAH KESENJANGAN SOSIAL YANG DIALAMI MASYARAKAT.


Dear Pembaca



Penulis menyoroti sebuah fenomena yang menarik di tengah masyarakat dalam bentuk permainan judi online. Dampak yang diberikan oleh kemudahan teknologi tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak yang menyediakan jasa permainan judi online dalam bentuk website. Penyedia jasa permainan judi online memberikan kemudahan bagi para pelaku untuk melakukan transaksi judi. Bersamaan dengan kemajuan zaman, permainan judi online pun cukup mengalami perkembang. Hal tersebut dapat terjadi karena permainan ini memang memberikan kemungkinan keuntungan yang cukup besar apabila memenangkannya serta sangat praktis untuk dilakukan. Selain dikarenakan faktor perkembangan fasilitas yang mendukung, sebenarnya permainan ini juga berdasarkan permainan judi yang sudah sangat melekat dengan masyarakat pada umumnya. Perjudian merupakan fenomena yang tidak dapat dipungkiri keberadaanya di tengah – tengah masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, perjudian dapat dilakukan dengan berbagai mekanisme dan ragam bentuk. Berjudi secara umum dipandang sebagai sebuah kejahatan. Sebelum memasuki subtansi perihal permasalahan perjudian perkenankan penulis menggali arti dari judi dan perjudian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari judi adalah permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan seperti main dadu, kartu, sedangkan perjudian dalam KBBI sendiri mempunyai makna perihal berjudi dan tempat berjudi.
Indonesia sendiri mengatur pasal khusus yang bisa dikenakan kepada para pelaku perjudian. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, muncul fenomena perjudian online. Tentunya untuk menjerat para pelaku ke ranah hukum, diperlukan sebuah pasal baru. Berikut pasal perjudian online yang berlaku di Indonesia. Pasal 303 dan 303 bis Kuhp menjelaskan mengenai ;
Pasal 303
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:
1.     dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;
2.    dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara;
3.    menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.
(2) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam mejalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.
(3) Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainanlain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Setelah pasal diatas, aturan mengenai perjudian juga terdapat pada Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian yakni ;
Pasal 1
Menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.
Pasal 2
(1) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) Kitab Undangundang Hukum Pidana, dari Hukuman penjaara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.
(2) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) Kitab Undangundang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.
(3) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) Kitab Undangundang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.
(4)  Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.
Pasal 3
(1) Pemerintah mengatur penertiban perjudian sesuai dengan jiwa dan maksud Undang undang ini.
(2)  Pelaksanaan ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Perundang - undangan.
Pasal 4
Terhitung mulai berlakunya peraturan Perundang-undangan dalam rangka penertiban perjudian dimaksud pada Pasal 3 Undang-undang ini, mencabut Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526).
Pasal 5
Undang - undang ini berlaku berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang - undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Mengenai peraturan judi yang di fasilitasi oleh media internet dapat dikenakan pasal ;

Pasal 27 ayat 2 Undang-undang ITE yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.” dan Pasal 45 Undang-undang ITE yang berbunyi “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer


Pustaka
Indonesia. Undang – Undang tentang KUHP, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946.
________. Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
________. Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
 Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa”, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, di akses pada tanggal  14 Desember  2019, Pukul 20:00 WIB
Anonim, “ Latar Belakang Judi Online”, http://www.endprints.uny.ac.id, Di Akses Tanggal 14 Desember 2019

KEDUDUKAN HUKUM ATAS ALAS DASAR TANAH ULAYAT DIBANDINGKAN DENGAN HAK GUNA USAHA (HGU).


Dear Pembaca

   
Sebelum memasuki analisa dalam suatu konstruksi yang dibalut dalam pendapat hukum (legal opinion) perkenankan penulis ingin membuka perspektif mengenai tanah ulayat beserta legal standing (kedudukan hukum) nya terlebih dahulu, setelah itu pemahaman status tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan sebagai penutupnya baru menganalisa secara konstruktif dan relevan terhadap tema diatas. Perlu dipahami terlebih dahulu mengenai arti tanah ulayat dan hak ulayat. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu, Sedangkan hak ulayat ialah kewenangan yang menurut hukum adat  atas wilayah tertentu merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
                Sesuai dengan rantai kalimat yang uraikan oleh penulis di atas, setelah mengetahui perbedaan antara tanah ulayat serta hak ulayat, selanjutnya di dalam konteks ini perlu dicermati juga secara fokus mengenai subyek dan objek hak ulayat. Subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang mendiami suatu wilayah. Masyarakat hukum adat terbagi menjadi 2 (dua) yakni ;
1. Masyarakat hukum adat territorial disebabkan para warganya bertempat tinggal di tempat yang sama.
2. Masyarakat hukum adat geonologik, disebabkan para warganya terikat oleh pertalian darah.
Objek dari hak ulayat meliputi ;
1. Tanah (daratan);
2. Air (perairan seperti : kali, danau, pantai, serta perairanya) ;
3. Tumbuh – tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah – buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya) ;
4. Binatang liar yang bebas hidup dalam hutan.
Dengan demikian hak ulayat menunjukan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan tanah/wilayah tertentu (objek hak)
                Kedudukan hukum hak ulayat dalam Undang – Undang Pokok Agarari (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 ditentukan dalam Pasal 3 yakni “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Eksistensi hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan dari Negara sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dalam hal ini kepentingan suatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.
                Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 dijelaskan juga mengenai kedudukan hak ulayat, tepatnya pada Pasal 1 ayat (1) yakni ; “Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.

Hal lain yang diatur dalam PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 antara lain Pasal 2 ayat (1) “Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Ketentuan tersebut mengatur tentang pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyrakat hukum adat menurut ketentuan hukum adat setempat”.

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa; Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
 a.   terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b.    terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c.   terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Ketiga unsur tersebut pada kenyataannya harus masih ada secara kumulatif. Penelitian mengenai unsur hak ulayat akan ditugaskan kepada Pemerintah Kabupaten, yang dalam pelaksanaannya mengikutsertakan para pakar hukum adat dan para tetua adat setempat. Namun dalam Pasal 3 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 terdapat pengecualiannya yaitu ditentukan bahwa; Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 ;
 a.    sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria;
 b.    merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah dan, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

Pasal tersebut menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat tersebut tidak dapat dilakukan lagi terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam Pasal 4 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 ditentukan bahwa;
1) Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan bahan hukum dapat dilakukan :
a) oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
b) oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
2) Penglepasan tanah ulayat sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2. 
3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Ketentuan pasal tersebut mengatur tentang penguasaan bidangbidang tanah yang termasuk hak ulayat oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan oleh warga masyarakat hukum adat, instansi pemerintah atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat.
Setelah menjelaskan secara sistematis yang berkomprehensif mengenai pengertian tanah ulayat beserta legal standingnya, sekarang penulis berupaya memapaparkan pengertian mengenai Hak Guna Usaha yang berdasarkan aturan – aturan yang meneguhkan arti dari Hak Guna Usaha (HGU) tersebut. Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud Hak Guna Usaha (HGU) adalah “Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”.

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
                Dalam membuat pendapat hukum pada tema yang diusung yakni “Bagaimana kedudukan hukum atas alas dasar tanah ulayat dibandingkan dengan Hak Guna Usaha” Berbicara mengenai alas dasar berarti membicarakan pada hal paling fundamental/pondasi awal dengan konteks alas dasar yang dimaksud adalah alas dasar tanah ulayat.  Bukan bermaksud mengulang materi diawal, tetapi perlu ditekankan disini mengenai pemahaman tanah ulayat. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Dalam logika berpikir hukum yang terukur, setelah diketahui arti dari tanah ulayat maka timbulah hak ulayat.
Hak ulayat sendiri pun memiliki arti kewenangan yang menurut hukum adat  atas wilayah tertentu merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya
Berbicara mengenai kedudukan hukum atas alas tanah ulayat dan hak ulayat pun sudah dapat di temui dalam ketentuan pada Undang – Undang Pokok Agarari (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 ditentukan dalam Pasal 3 yakni “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Eksistensi hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan dari Negara sepanjang menurut kenyataan masih ada.
Perlu digaris bawahi mengenai “kenyataan masih ada”, dalam interpretasi nya Negara (Indonesia) pun sudah mengakui bahwa hak ulayat itu mendapatkan tempat selama, sepanjang keadaan fisik/non fisik tersebut tidak fiktip dan benar – benar ada. Negara memang menguasai kepemilikan tanah ulayat, tetapi perlu di ingat negara pun memberikan wewenangnya terhadap tanah ulayat guna mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Hak menguasai dari Negara pada tanah ulayat dalam pelaksanaanya dapat dikuasakan, arti dikuasakan disini berarti secara hukum bisa dikuasakan. Pertanyaanya kepada siapa negara bisa memberikan kuasanya? yakni kepada daerah - daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Perlu dicermati disini, pemberian kuasa negara yang dimaksud hanya sekedar diperlukan. Berarti jika sifatnya tidak diperlukan, Negara pun tidak bisa memberikan kuasa yang dimaksud dan juga tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Argumentasi tersebut dalam mengutarakanya oleh penulis, penulis berpijak pada Pasal 2 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUPA No 5 Tahun 1960.
Kedudukan hukum terhadap alas dasar tanah ulayat bagi yang ingin memperjuangkan pun mendapat sedikit rintangan, mengapa demikian, dengan berlakunya otonomi daerah yang bisa mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dengan adanya otomi daerah, maka setiap daerah yang ada di Indonesia dapat membuat kebijakan masing-masing daerah mereka sendiri, tetapi tidak bertentangan dengan UUD 1945 serta tetap berdasar pada Pancasila. Walaupun diadakan sistem otonomi, tetapi pemerintahan Indonesia tetaplah terpusat pada pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota. Maka dari itu jika kebijakan otonomi di daerah dirasa tidak relevan bisa mecari kebenaran dengan bukti yang memang bisa meneguhkan terjadinya penyimpangan. Hal yang bisa dilakukan untuk itu yakni, menanyakan kepada Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Ibu Kota.
Setelah membahas mengenai otonomi daerah, penulis ingin mengkaitkanya dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, mengapa ini dilakukan. Penulis mempunyai alasan, karena ada sedikit pelemahan untuk alas dasar tanah ulayat tepatnya terhadap bidang – bidang tanah yang pada saat ditetapkanya Peraturan Daerah.  Pasal 3 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 terdapat pengecualiannya yaitu ditentukan bahwa; Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 ;
 a.    sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria;
 b.    merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah dan, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

        Alas dasar kedudukan hukum hak ulayat dibandingkan Hak Guna Usaha (HGU) sangat berbeda. Jika penguasaan bidang – bidang tanah ulayat diperoleh oleh perseorangan dan badan hukum sebaiknya langkah yang dilakukan untuk memperkuat hak kepemilikan adalah didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.  Sedikit pandangan dari penulis, mengenai  kepemilikanya jika sudah dimiliki oleh badan hukum dan bukan lagi milik masyarakat adat setempat .
Dalam aturanya “badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku”.
Pertanyaan penulis, apakah jika memang kepemilikan tanah ulayat tersebut sudah dimiliki kepemilikanya oleh badan hukum,  apakah pada saat pelepasanya sudah sesuaikah dengan ketentuan dan tata cara adat yang berlaku? Jika pelepasan tanah ulayat tersebut guna keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, biasanya tertera jangka waktu penggunaan Hak Guna Usaha maupun Hak Guna Pakai. Jika jangka waktunya sudah habis dan terlihat ditelantarkan maka maka Hak Guna Usaha Maupun Hak Guna Pakai akan terhapus maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada,
Sebagai acuan dari kalimat – kalimat diatas, berikut diberikan dasar hukumnya yakni Pasal 6 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam Pasal 4 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 ditentukan bahwa;
1) Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan bahan hukum dapat dilakukan :
a) oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
b) oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
2) Penglepasan tanah ulayat sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2. 
3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.


R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer


Pustaka
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang – Undang Pokok Agraria
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999
Harsono Boedi, “Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya”,  Djambatan : Jakarta, 1999.
Muhammad Bushar, “Pokok-Pokok Hukum Adat”,  Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.




RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) SEBAGAI DASAR DALAM CORPORATE ACTION YANG DISESUAIKAN DENGAN PERATURAN PASAR MODAL



Dear Pembaca

   
Sebelum larut di dalam analisa yang mendalam terhadap tema yang diangkat oleh penulis, penulis berdasarkan apa yang dialami pada saat bekerja maupun saat memperhatikan eksistensi suatu Perusahaan yang terus melakukan kegiatan usahanya baik perusahaan yang statusnya masih tertutup maupun sudah terbuka (go public), berdasarkan kalimat tadi, penulis mempunyai pandangan, yakni di dalam Perusahaan yang sehat, tentunya pembukuan keuangan nya pun harus dalam kondisi baik. Pada artikel ini penulis ingin berbagi wawasan mengenai pemahaman Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai dasar dalam corporate action yang disesuaikan dengan peraturan Pasar Modal. Pengertian Pasar Modal menurut UU Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 didefinisikan sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkanya, serta lembaga profesi yang berkaitan dengan efek.

Dapat disimpulkan bahwa pasar modal adalah tempat pertemuan antar pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dengan pihak yang memerlukan dana (perusahaan) dengan cara memperjual belikan sekuritas baik berupa saham, obligasi, maupun jenis surat berharga lainya melalui jasa perantara perdagangan efek. Pasar Modal juga mempunya fungsi yakni ;
Fungsi Pasar Modal
a. Sebagai sumber penghimpun dana ;
b. Sebagai alternatif investasi para pemodal atau investor ;
c. Penghimpun dana modal pasar modal relative rendah ;
d. Pasar Modal akan mendorong perkembangan investasi.
            Corporate action adalah tindakan atau aksi korporasi emiten (perusahaan go public) yang berpengaruh terhadap jumlah saham yang beredar maupun terhadap harga saham perusahaan yang bersangkutan di bursa. Setiap kegiatan atau aksi emiten yang cukup material mempunyai makna bahwa tindakan atau aksi ini merupakan suatu usaha yang disadari atau direncanakan oleh manajemen perusahaan. Jadi, sesuatu yang tidak disengaja tetapi terjadi bukan merupakan suatu corporate action walaupun mempunyai kemungkinan mempengaruhi harga.
            Corporate action merupakan keputusan yang memerlukan persetujuan terlebih dahulu baik dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) maupun dari Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Persetujuan dari rapat pemegang saham adalah mutlak berlakunya suatu corporate action dalam sebuah perusahaan sesuai dengan peraturan Pasar Modal.
            Corporate action sendiri merupakan berita yang menarik untuk pihak – pihak terkait Pasar Modal, khususnya pemegang saham. Bagi sebagian besar pelaku pasar informasi tentang aksi korporasi ini merupakan informasi yang sangat berharga. Tidak jarang terkadang pelaku pasar sering mencari – cari informasi mengenai aksi korporasi untuk dapat membeli saham terlebih dahulu di pasar. Hal ini sering disebut istilah “buy on rumors dan sell on the news”. Dari informasi inilah dapat memberikan peluang yang cukup besar kepada para pelaku pasar untuk meraih capital gain.
            Jenis – jenis Corporate Action, umumnya mengacu pada aktivitas penerbitan right, pemecahan saham (stock split), saham bonus dan pembagian deviden, baik dalam bentuk deviden saham (stock devidend), maupun deviden tunai (cash deviden). Selain itu terdapat jenis corporate action lainya, antara lain penawaran perdana, (initial public offering – IPO) dan additional listing seperti penempatan langsung (private placement), konvensi saham, baik dari waran, right, ataupun obligasi.
            Dari kedua macam jenis corporate action diatas adalah bahwa penawaran perdana, (initial public offering – IPO) dan additional listing seperti penempatan langsung (private placement) dan konvensi saham ini merupakan corporate action yang tidak berpengaruh terhadap harga yang  terjadi di pasar, kecuali berupa pencatatan penambahan saham baru. Akan tetapi pada umumnya corporate action lebih mengacu pada aktivitas emiten kelompok pertama yaitu penerbitan right, pemecahan saham (stock split), saham bonus dan pembagian deviden.
            Tujuan emiten melakukan corporate action adalah untuk memenuhi tujuan – tujuan tertentu seperti ekspansi, akuisisi, peningkatan modal perusahaan, peningkatan likuiditas saham dan tujuan lainya. Misalnya ekspansi, ekspansi merupakan tindakan aktif untuk memperluas cangkupan usaha yang telah ada.
            Umumnya corporate action memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepentingan pemegang saham (investor), karena corporate action yang akan dilakukan emiten berpengaruh terhadap jumlah saham yang beredar, komposisi dan presentase kepemilikan saham, jumlah saham yang akan dipegang oleh pemilik saham serta pengaruhnya terhadap pergerakan saham. Dengan demikian pemegang saham harus mencermati dampak atau akibat corporate action sehingga memperoleh keuntungan dari melakukan keputusan atau antisipasi yang tepat.

R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer

Pustaka
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Budi Untung, “ Hukum Bisnis Pasar Modal”, Yogyakarta : Andi, 2010.
M. Paulus Situmorang, “ Pengantar Pasar Modal”, Mitra Wacana Media, 2008.
Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin, Pasar Modal di Indonesia, Jakarta, 2008.
Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin, Pasar Modal di Indonesia (Pendekatan Tanya Jawab), Jakarta, 2001.

FILOSOFI "BELAJAR HUKUM KUY"

    Berangkat dari gejolak sanubari yang terdalam terhadap keterbatasan pengeta...

Resume Online