Dear Pembaca
Sebelum memasuki analisa yang akan membuat pembaca artikel ini larut dalam tema yang diangkat penulis. Penulis akan menguraikan tapak tilas keberadaan sumber hukum tidak tertulis yang sudah ada dan menjadi sumber hukum. Keberadaan sumber hukum tidak tertulis juga bisa menjadi suatu acuan, jika tidak ada peraturan hukum untuk penerapan suatu perkara hukum. Sejak zaman penjajahan Belanda, dikenal dual sistem sumber hukum. Semula kehidupan masyarakat Indonesia diatur oleh hukum tidak tertulis yang disebut hukum adat. Setelah penjajahan Belanda, mulai diperkenalkan bentuk perundang – undangan yang hidup berdampingan dengan hukum adat. Berdasarkan kenyataan historis tersebut, sejak zaman penjajahan, Indonesia menganut sekaligus sistem hukum adat yang mirip dengan Common law system dengan statue law system yang dianut negara – negara continental. Pengakuan atas eksistensi hukum adat diatur dalam Pasal 131 IS (Inlaands Staats Regeling, S 1925 – 447) sebagai landasan politik hukum. Pada ayat (1) huruf b diakui berlaku hukum adat bagi golongan penduduk pribumi.
Kebijaksanaan
politik hukum tersebut, masih tetap dipertahankan Pasal 23 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan
sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No.
4 Tahun 2004, yang menegaskan putusan pengadilan ;
1. Harus membuat
pasal – pasal peraturan perundang – undangan yang bersangkutan atau ;
2. Sumber hukum
tak tertulis.
Kebijaksanaan itu dipertegas lagi dalam Pasal 27 ayat (1) serta dalam
penjelasanya yang mengatakan, oleh karena Indonesia masih mengenal hukum tidak
tertulis, Hakim berfungsi perumusan dan penggalinya dari nilai – nilai hukum
yang hidup dikalangan masyarakat. Untuk itu, Hakim harus terjun ke tengah –
tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dari
penjelasan kalimat diatas, baik berdasarkan Pasal 131 I S maupun Pasal
23 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004,
hukum adat masih tetap diakui sebagai tata hukum berdampingan dengan tata hukum
Barat dan tata hukum Islam. Oleh karena itu dalam praktik Peradilan, nilai –
nilai hukum adat baik secara subtansial dan terutama asas – asasnya , masih
tetap memiliki validitas dan otoritas. Bahkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang
UU Pokok Agraria, keberadaan hukum adat diakui secara tegas. Pasal 3 mengatakan, pelaksanaan hak
ulayat dan hak – hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, harus tetap
diperlakukan sepanjang menurut kenyataanya masih ada.
Setelah
terurai dari tapak tilas suatu aturan hukum tidak tertulis hingga eksistensinya
terhadap hukum adat yang masih diakui sepanjang kenyataanya masih ada, mengapa
peran hukum adat makin kesini makin mengecil. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab semakin mengecilnya peranya dalam menyelesaikan sengketa di
Pengadilan, antara lain sebagai berikut ;
1.
Hapusnya Politik Pembagian Golongan Penduduk ;
2.
Arus Proses Horizontal dan Vertikal ;
3.
Arus Kodifikasi Semakin Tinggi ;
4.
Pengaruh Globalisasi.
Jadi walaupun arus kodifikasi semakin
tinggi serta terus menggerus eksistensi keberadaan hukum tidak tertulis,
sebagai seseorang yang paham akan pandangan yuridis, semestinya menjadikan
suatu hukum tidak tertulis ini menjadi suatu pijakan pemikiran bila terjadi
kebuntuan akan tidak adanya suatu aturan yang belum mengatur suatu permasalahan
hukum di dalam menyelesaikanya, dan begitupun penulis mengadopsi pemahan akan
hal itu.
R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer
Pustaka
M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata", Jakarta : Sinar Grafika, 2016.
M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata", Jakarta : Sinar Grafika, 2016.
No comments:
Post a Comment