Sunday, 15 December 2019

KEDUDUKAN HUKUM ATAS ALAS DASAR TANAH ULAYAT DIBANDINGKAN DENGAN HAK GUNA USAHA (HGU).


Dear Pembaca

   
Sebelum memasuki analisa dalam suatu konstruksi yang dibalut dalam pendapat hukum (legal opinion) perkenankan penulis ingin membuka perspektif mengenai tanah ulayat beserta legal standing (kedudukan hukum) nya terlebih dahulu, setelah itu pemahaman status tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan sebagai penutupnya baru menganalisa secara konstruktif dan relevan terhadap tema diatas. Perlu dipahami terlebih dahulu mengenai arti tanah ulayat dan hak ulayat. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu, Sedangkan hak ulayat ialah kewenangan yang menurut hukum adat  atas wilayah tertentu merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
                Sesuai dengan rantai kalimat yang uraikan oleh penulis di atas, setelah mengetahui perbedaan antara tanah ulayat serta hak ulayat, selanjutnya di dalam konteks ini perlu dicermati juga secara fokus mengenai subyek dan objek hak ulayat. Subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang mendiami suatu wilayah. Masyarakat hukum adat terbagi menjadi 2 (dua) yakni ;
1. Masyarakat hukum adat territorial disebabkan para warganya bertempat tinggal di tempat yang sama.
2. Masyarakat hukum adat geonologik, disebabkan para warganya terikat oleh pertalian darah.
Objek dari hak ulayat meliputi ;
1. Tanah (daratan);
2. Air (perairan seperti : kali, danau, pantai, serta perairanya) ;
3. Tumbuh – tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah – buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya) ;
4. Binatang liar yang bebas hidup dalam hutan.
Dengan demikian hak ulayat menunjukan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan tanah/wilayah tertentu (objek hak)
                Kedudukan hukum hak ulayat dalam Undang – Undang Pokok Agarari (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 ditentukan dalam Pasal 3 yakni “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Eksistensi hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan dari Negara sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dalam hal ini kepentingan suatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.
                Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 dijelaskan juga mengenai kedudukan hak ulayat, tepatnya pada Pasal 1 ayat (1) yakni ; “Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.

Hal lain yang diatur dalam PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 antara lain Pasal 2 ayat (1) “Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Ketentuan tersebut mengatur tentang pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyrakat hukum adat menurut ketentuan hukum adat setempat”.

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa; Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
 a.   terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b.    terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c.   terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Ketiga unsur tersebut pada kenyataannya harus masih ada secara kumulatif. Penelitian mengenai unsur hak ulayat akan ditugaskan kepada Pemerintah Kabupaten, yang dalam pelaksanaannya mengikutsertakan para pakar hukum adat dan para tetua adat setempat. Namun dalam Pasal 3 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 terdapat pengecualiannya yaitu ditentukan bahwa; Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 ;
 a.    sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria;
 b.    merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah dan, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

Pasal tersebut menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat tersebut tidak dapat dilakukan lagi terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam Pasal 4 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 ditentukan bahwa;
1) Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan bahan hukum dapat dilakukan :
a) oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
b) oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
2) Penglepasan tanah ulayat sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2. 
3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Ketentuan pasal tersebut mengatur tentang penguasaan bidangbidang tanah yang termasuk hak ulayat oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan oleh warga masyarakat hukum adat, instansi pemerintah atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat.
Setelah menjelaskan secara sistematis yang berkomprehensif mengenai pengertian tanah ulayat beserta legal standingnya, sekarang penulis berupaya memapaparkan pengertian mengenai Hak Guna Usaha yang berdasarkan aturan – aturan yang meneguhkan arti dari Hak Guna Usaha (HGU) tersebut. Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud Hak Guna Usaha (HGU) adalah “Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”.

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
                Dalam membuat pendapat hukum pada tema yang diusung yakni “Bagaimana kedudukan hukum atas alas dasar tanah ulayat dibandingkan dengan Hak Guna Usaha” Berbicara mengenai alas dasar berarti membicarakan pada hal paling fundamental/pondasi awal dengan konteks alas dasar yang dimaksud adalah alas dasar tanah ulayat.  Bukan bermaksud mengulang materi diawal, tetapi perlu ditekankan disini mengenai pemahaman tanah ulayat. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Dalam logika berpikir hukum yang terukur, setelah diketahui arti dari tanah ulayat maka timbulah hak ulayat.
Hak ulayat sendiri pun memiliki arti kewenangan yang menurut hukum adat  atas wilayah tertentu merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya
Berbicara mengenai kedudukan hukum atas alas tanah ulayat dan hak ulayat pun sudah dapat di temui dalam ketentuan pada Undang – Undang Pokok Agarari (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 ditentukan dalam Pasal 3 yakni “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Eksistensi hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan dari Negara sepanjang menurut kenyataan masih ada.
Perlu digaris bawahi mengenai “kenyataan masih ada”, dalam interpretasi nya Negara (Indonesia) pun sudah mengakui bahwa hak ulayat itu mendapatkan tempat selama, sepanjang keadaan fisik/non fisik tersebut tidak fiktip dan benar – benar ada. Negara memang menguasai kepemilikan tanah ulayat, tetapi perlu di ingat negara pun memberikan wewenangnya terhadap tanah ulayat guna mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Hak menguasai dari Negara pada tanah ulayat dalam pelaksanaanya dapat dikuasakan, arti dikuasakan disini berarti secara hukum bisa dikuasakan. Pertanyaanya kepada siapa negara bisa memberikan kuasanya? yakni kepada daerah - daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Perlu dicermati disini, pemberian kuasa negara yang dimaksud hanya sekedar diperlukan. Berarti jika sifatnya tidak diperlukan, Negara pun tidak bisa memberikan kuasa yang dimaksud dan juga tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Argumentasi tersebut dalam mengutarakanya oleh penulis, penulis berpijak pada Pasal 2 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUPA No 5 Tahun 1960.
Kedudukan hukum terhadap alas dasar tanah ulayat bagi yang ingin memperjuangkan pun mendapat sedikit rintangan, mengapa demikian, dengan berlakunya otonomi daerah yang bisa mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dengan adanya otomi daerah, maka setiap daerah yang ada di Indonesia dapat membuat kebijakan masing-masing daerah mereka sendiri, tetapi tidak bertentangan dengan UUD 1945 serta tetap berdasar pada Pancasila. Walaupun diadakan sistem otonomi, tetapi pemerintahan Indonesia tetaplah terpusat pada pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota. Maka dari itu jika kebijakan otonomi di daerah dirasa tidak relevan bisa mecari kebenaran dengan bukti yang memang bisa meneguhkan terjadinya penyimpangan. Hal yang bisa dilakukan untuk itu yakni, menanyakan kepada Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Ibu Kota.
Setelah membahas mengenai otonomi daerah, penulis ingin mengkaitkanya dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, mengapa ini dilakukan. Penulis mempunyai alasan, karena ada sedikit pelemahan untuk alas dasar tanah ulayat tepatnya terhadap bidang – bidang tanah yang pada saat ditetapkanya Peraturan Daerah.  Pasal 3 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 terdapat pengecualiannya yaitu ditentukan bahwa; Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 ;
 a.    sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria;
 b.    merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah dan, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

        Alas dasar kedudukan hukum hak ulayat dibandingkan Hak Guna Usaha (HGU) sangat berbeda. Jika penguasaan bidang – bidang tanah ulayat diperoleh oleh perseorangan dan badan hukum sebaiknya langkah yang dilakukan untuk memperkuat hak kepemilikan adalah didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.  Sedikit pandangan dari penulis, mengenai  kepemilikanya jika sudah dimiliki oleh badan hukum dan bukan lagi milik masyarakat adat setempat .
Dalam aturanya “badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku”.
Pertanyaan penulis, apakah jika memang kepemilikan tanah ulayat tersebut sudah dimiliki kepemilikanya oleh badan hukum,  apakah pada saat pelepasanya sudah sesuaikah dengan ketentuan dan tata cara adat yang berlaku? Jika pelepasan tanah ulayat tersebut guna keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, biasanya tertera jangka waktu penggunaan Hak Guna Usaha maupun Hak Guna Pakai. Jika jangka waktunya sudah habis dan terlihat ditelantarkan maka maka Hak Guna Usaha Maupun Hak Guna Pakai akan terhapus maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada,
Sebagai acuan dari kalimat – kalimat diatas, berikut diberikan dasar hukumnya yakni Pasal 6 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam Pasal 4 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 ditentukan bahwa;
1) Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan bahan hukum dapat dilakukan :
a) oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
b) oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
2) Penglepasan tanah ulayat sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2. 
3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.


R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer


Pustaka
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang – Undang Pokok Agraria
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999
Harsono Boedi, “Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya”,  Djambatan : Jakarta, 1999.
Muhammad Bushar, “Pokok-Pokok Hukum Adat”,  Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.




No comments:

Post a Comment

FILOSOFI "BELAJAR HUKUM KUY"

    Berangkat dari gejolak sanubari yang terdalam terhadap keterbatasan pengeta...

Resume Online