Monday, 9 December 2019

KACA MATA HUKUM PIDANA YANG DIKAITKAN DENGAN FATWA NO 4/1955 TERHADAP BEDAH MAYAT FORENSIK UNTUK MENGUNGKAPKAN KEBENARAN FAKTA MATERIL



Dear Pembaca


 
Penulis mempunyai konstruksi pemikiran untuk mengurai suatu fakta materil terhadap bedah mayat forensik yang dicoba digali dalam kaca mata hukum pidana yang dikaitkan dengan fatwa No. 4/1955. Bedah mayat forensik atau lebih populer dengan otopsi forensik adalah suatu tindakan dalam ilmu kedokteran, yaitu tindakan membedah mayat, dari membuka rongga tengkorak, leher, rongga dada, perut dan rongga panggul; untuk kepentingan Peradilan. Bedah mayat forensik semata – mata dilakukan, guna kepentingan Peradilan, bukan untuk masalah lain, misalnya untuk kepentingan asuransi. Adapun kejelasan yang dapat diungkapkan dari bedah mayat forensik diantaranya yakni untuk mengetahui jati diri korban yang sebenarnya, memahami perkiraan kapan korban tewas, mengetahui sebab kematian serta senjata apa yang menyebabkan kematian dan menelusuri cara kematian korban yang sebenarnya ; apakah pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan, atau mati karena penyakit. Keempat kejelasan tadi sangat dibutuhkan dalam proses Peradilan, dari tahap penyidikan yang dilakukan Polisi, penuntutan, sampai ke persidangan yang dipimpin oleh Hakim.
Karena untuk kepentingan Peradilan, sudah barang tentu bedah mayat forensik mempunyai landasan dasar hukum yang kuat, yakni Pasal 133 KUHAP ;
(1)   Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2)  Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3)   Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Dari Pasal 133 KUHAP tersebut jelas bahwa bedah mayat forensik atau bedah mayat untuk kepentingan Peradilan merupakan ketentuan yang telah diatur dalam undang – undang. Bedah mayat forensik bukan kehendak dokter, dokter disini hanya pelaksana sebagai ahli yang diminta oleh undang – undang.
            Dalam masalah bedah mayat forensik ini, kita khususnya masyarakat yang beragama islam sudah maju pemikiranya dan pandanganya terhadap masalah boleh tidaknya dilakukan bedah mayat ; ini tecermin dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan & Syara ‘ Kementrian Republik Indonesia pada tahun 1955. Adapun fatwa yang dimaksud adalah fatwa Nomor 4/1955 yang bunyinya antara lain ;
1.  Bedah mayat itu mubah / boleh hukumnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegakan keadilan di antara umat manusia.
2. Membatasi kemubahan ini sekadar darurat saja menurut kadar yang tidak boleh tidak harus di lakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Bagaimana jika pihak keluarga melarang atau menghalang – halangi pemeriksaan bedah mayat forensik, atau jika pihak dokter enggan melaksanakan perintah undang – undang tersebut? Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) dalam hal ini Pasal 222 berbunyi sebagai berikut ;
“Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Jelas memuat ancaman hukuman bagi siapa saja yang mencegah atau menghalang – halangi pemeriksaan mayat forensik. Sebagai umat Islam, kita harus berpendapat bahwa pemeriksaan mayat forensik bukan hal yang mengada – ada. Bedah mayat forensik diperlukan guna membantu tegaknya keadilan dan kebenaran diantara umat manusia.

R. Rendi Sudendi, SH
Associate Lawyer

Pustaka

Abdul Mun'im Idries "Indonesia X - Files, Jakarta : Noura Books (PT Mizan Publika), 2013
Undang - Undang No 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang - Undang Hukum Pidana
______________ No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)


No comments:

Post a Comment

FILOSOFI "BELAJAR HUKUM KUY"

    Berangkat dari gejolak sanubari yang terdalam terhadap keterbatasan pengeta...

Resume Online