Dear Pembaca

Sebelum memasuki analisa dalam suatu
konstruksi yang dibalut dalam pendapat hukum (legal opinion) perkenankan penulis ingin membuka perspektif
mengenai tanah ulayat beserta legal
standing (kedudukan hukum) nya terlebih dahulu, setelah itu pemahaman
status tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan sebagai penutupnya baru
menganalisa secara konstruktif dan relevan terhadap tema diatas. Perlu
dipahami terlebih dahulu mengenai arti tanah ulayat dan hak ulayat. Tanah
ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu, Sedangkan hak ulayat ialah kewenangan yang
menurut hukum adat atas wilayah tertentu
merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud
memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus
antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Sesuai
dengan rantai kalimat yang uraikan oleh penulis di atas, setelah mengetahui
perbedaan antara tanah ulayat serta hak ulayat, selanjutnya di dalam konteks
ini perlu dicermati juga secara fokus mengenai subyek dan objek hak ulayat.
Subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang mendiami suatu wilayah.
Masyarakat hukum adat terbagi menjadi 2 (dua) yakni ;
1. Masyarakat hukum adat territorial disebabkan para
warganya bertempat tinggal di tempat yang sama.
2. Masyarakat hukum adat geonologik, disebabkan para
warganya terikat oleh pertalian darah.
Objek dari hak ulayat meliputi ;
1. Tanah (daratan);
2. Air (perairan seperti : kali, danau,
pantai, serta perairanya) ;
3. Tumbuh – tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah
– buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya) ;
4. Binatang liar yang bebas hidup dalam hutan.
Dengan demikian hak ulayat menunjukan
hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan tanah/wilayah
tertentu (objek hak)
Kedudukan
hukum hak ulayat dalam Undang – Undang
Pokok Agarari (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 ditentukan dalam Pasal 3 yakni “Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi”. Eksistensi hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat
mendapat tempat dan pengakuan dari Negara sepanjang menurut kenyataan masih
ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dalam hal ini kepentingan
suatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara
yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam
suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat
yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.
Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5
Tahun 1999 dijelaskan juga mengenai kedudukan hak ulayat, tepatnya pada Pasal 1 ayat (1) yakni ; “Hak ulayat dan yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian
dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hal
lain yang diatur dalam PMNA/KBPN No. 5
Tahun 1999 antara lain Pasal 2 ayat
(1) “Pelaksanann hak ulayat sepanjang
pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Ketentuan tersebut mengatur
tentang pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan
oleh masyrakat hukum adat menurut ketentuan hukum adat setempat”.
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa; Hak
ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
a. terdapat
sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b. terdapat
tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai
pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati
oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Ketiga unsur tersebut pada kenyataannya harus masih ada
secara kumulatif. Penelitian mengenai unsur hak ulayat akan ditugaskan kepada
Pemerintah Kabupaten, yang dalam pelaksanaannya mengikutsertakan para pakar
hukum adat dan para tetua adat setempat. Namun dalam Pasal 3 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 terdapat pengecualiannya yaitu
ditentukan bahwa; Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah
yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 ;
a. sudah
dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah
menurut Undang-Undang Pokok Agraria;
b. merupakan
bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi
pemerintah dan, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara
yang berlaku.
Pasal tersebut menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat
tersebut tidak dapat dilakukan lagi terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat
ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam Pasal 4 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 ditentukan
bahwa;
1)
Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan bahan hukum dapat dilakukan :
a)
oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan
menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh
pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut
ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
b)
oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah
tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai
dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
2)
Penglepasan tanah ulayat sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk
keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak
Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan
tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis,
atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga
Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan
selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada
sesuai ketentuan Pasal 2.
3)
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang
diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh
melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan.
Ketentuan pasal tersebut mengatur tentang penguasaan
bidangbidang tanah yang termasuk hak ulayat oleh perseorangan dan badan hukum
dapat dilakukan oleh warga masyarakat hukum adat, instansi pemerintah atau
perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak
atas tanah menurut ketentuan UUPA setelah tanah tersebut dilepaskan oleh
masyarakat hukum adat.
Setelah menjelaskan secara sistematis yang
berkomprehensif mengenai pengertian tanah ulayat beserta legal standingnya, sekarang penulis berupaya memapaparkan
pengertian mengenai Hak Guna Usaha yang berdasarkan aturan – aturan yang
meneguhkan arti dari Hak Guna Usaha (HGU) tersebut. Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud
Hak Guna Usaha (HGU) adalah “Hak
guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan”.
PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
Dalam
membuat pendapat hukum pada tema yang diusung yakni “Bagaimana kedudukan hukum atas alas dasar tanah ulayat dibandingkan
dengan Hak Guna Usaha” Berbicara mengenai alas dasar berarti membicarakan
pada hal paling fundamental/pondasi awal dengan konteks alas dasar yang
dimaksud adalah alas dasar tanah ulayat.
Bukan bermaksud mengulang materi diawal, tetapi perlu ditekankan disini
mengenai pemahaman tanah ulayat. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang
diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Dalam
logika berpikir hukum yang terukur, setelah diketahui arti dari tanah ulayat
maka timbulah hak ulayat.
Hak ulayat sendiri pun memiliki arti kewenangan yang
menurut hukum adat atas wilayah tertentu
merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya
Berbicara mengenai kedudukan hukum atas alas tanah
ulayat dan hak ulayat pun sudah dapat di temui dalam ketentuan pada Undang – Undang Pokok Agarari (UUPA) Nomor
5 Tahun 1960 ditentukan dalam Pasal
3 yakni “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi”. Eksistensi hak ulayat ini menunjukkan bahwa
hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan dari Negara sepanjang menurut
kenyataan masih ada.
Perlu digaris bawahi mengenai “kenyataan masih ada”, dalam interpretasi nya Negara (Indonesia)
pun sudah mengakui bahwa hak ulayat itu mendapatkan tempat selama, sepanjang
keadaan fisik/non fisik tersebut tidak fiktip dan benar – benar ada. Negara
memang menguasai kepemilikan tanah ulayat, tetapi perlu di ingat negara pun
memberikan wewenangnya terhadap tanah ulayat guna mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Hak menguasai dari Negara pada tanah ulayat dalam
pelaksanaanya dapat dikuasakan, arti dikuasakan disini berarti secara hukum
bisa dikuasakan. Pertanyaanya kepada siapa negara bisa memberikan kuasanya?
yakni kepada daerah - daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Perlu dicermati disini, pemberian
kuasa negara yang dimaksud hanya sekedar diperlukan. Berarti jika sifatnya
tidak diperlukan, Negara pun tidak bisa memberikan kuasa yang dimaksud dan juga
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah. Argumentasi tersebut dalam mengutarakanya oleh penulis, penulis
berpijak pada Pasal 2 ayat (1), (2), (3)
dan (4) UUPA No 5 Tahun 1960.
Kedudukan hukum terhadap alas dasar tanah ulayat bagi
yang ingin memperjuangkan pun mendapat sedikit rintangan, mengapa demikian,
dengan berlakunya otonomi daerah yang bisa mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi dengan adanya otomi daerah, maka setiap daerah
yang ada di Indonesia dapat membuat kebijakan masing-masing daerah mereka
sendiri, tetapi tidak bertentangan dengan UUD 1945 serta tetap berdasar pada
Pancasila. Walaupun diadakan sistem otonomi, tetapi pemerintahan Indonesia
tetaplah terpusat pada pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota. Maka
dari itu jika kebijakan otonomi di daerah dirasa tidak relevan bisa mecari
kebenaran dengan bukti yang memang bisa meneguhkan terjadinya penyimpangan. Hal
yang bisa dilakukan untuk itu yakni, menanyakan kepada Pemerintah Pusat yang
berkedudukan di Ibu Kota.
Setelah membahas mengenai otonomi daerah, penulis ingin
mengkaitkanya dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional, mengapa ini dilakukan. Penulis mempunyai alasan, karena ada sedikit
pelemahan untuk alas dasar tanah ulayat tepatnya terhadap bidang – bidang tanah
yang pada saat ditetapkanya Peraturan Daerah.
Pasal 3 PMNA/KBPN No. 5 Tahun
1999 terdapat pengecualiannya yaitu ditentukan bahwa; Pelaksanaan hak
ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak dapat lagi
dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6
;
a. sudah
dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah
menurut Undang-Undang Pokok Agraria;
b. merupakan
bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi
pemerintah dan, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara
yang berlaku.
Alas
dasar kedudukan hukum hak ulayat dibandingkan Hak Guna Usaha (HGU) sangat berbeda.
Jika penguasaan bidang – bidang tanah ulayat diperoleh oleh perseorangan dan
badan hukum sebaiknya langkah yang dilakukan untuk memperkuat hak kepemilikan
adalah didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA. Sedikit pandangan dari penulis, mengenai kepemilikanya jika sudah dimiliki oleh badan
hukum dan bukan lagi milik masyarakat adat setempat .
Dalam aturanya “badan
hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan
dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan
pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat
hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum
adat yang berlaku”.
Pertanyaan penulis, apakah jika memang kepemilikan
tanah ulayat tersebut sudah dimiliki kepemilikanya oleh badan hukum, apakah pada saat pelepasanya sudah sesuaikah
dengan ketentuan dan tata cara adat yang berlaku? Jika pelepasan tanah ulayat
tersebut guna keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna
Usaha atau Hak Pakai, biasanya tertera jangka waktu penggunaan Hak Guna Usaha
maupun Hak Guna Pakai. Jika jangka waktunya sudah habis dan terlihat
ditelantarkan maka maka Hak Guna Usaha Maupun Hak Guna Pakai akan terhapus maka
penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum
adat itu masih ada,
Sebagai acuan dari kalimat – kalimat diatas, berikut
diberikan dasar hukumnya yakni Pasal 6
PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam Pasal 4 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 ditentukan bahwa;
1)
Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan bahan hukum dapat dilakukan :
a)
oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan
menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh
pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut
ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
b)
oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah
tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai
dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
2)
Penglepasan tanah ulayat sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk
keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak
Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan
tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis,
atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga
Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan
selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada
sesuai ketentuan Pasal 2.
3)
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang
diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh
melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan.
R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer
Pustaka
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Undang – Undang Pokok Agraria
Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999
Harsono Boedi, “Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria Isi dan Pelaksanaannya”,
Djambatan : Jakarta, 1999.
Muhammad Bushar, “Pokok-Pokok Hukum Adat”,
Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.