Wednesday, 8 January 2020

PERSPEKTIF YURIDIS TERKAIT MUSIBAH BANJIR


Dear Pembaca


Mengawali tahun 2020, sebagian rakyat Indonesia sedang diuji oleh bencana banjir. Hampir setiap lini media, baik media cetak maupun elektronik mengabarkan mengenai musibah banjir ini. Berita melalui sosial media pun tak luput memberitakan mengenai musibah ini. Penulis merasa terpanggil sebagai praktisi hukum melihat fenomena peristiwa ini yang akan mencoba menuangkan dalam penulisan. Berbicara mengenai banjir itu sangat kompleks dan pelik, tergantung kita melihat dari sudut pandang mana. Dari kacamata pemerintah, penulis memandang, bahwa Pemerintah terus melakukan upaya – upaya dalam menanggulangi tentang banjir ini, baik dalam bentuk regulasi hingga sosialisasi agar masyarakat untuk tetap perduli dengan lingkungan hidup disekitarnya agar tidak merusak lingkungan, membuang sampah sembarangan hingga melakukan tindakan hukum jika melanggar aturan – aturan mengenai hal tersebut. Jika dari sisi kehidupan masyarakat, penulis memandang juga secara kenyataan yang terjadi, salah satunya yakni kerugian yang dialami atas bencana ini baik kerugian material maupun immaterial.

APAKAH BISA DIKATAKAN FORCE MAJEUR ATAS PERISTIWA BANJIR INI
                Dalam Kuh-per tepatnya Pasal 1244 dan Pasal 1245 mengatur mengenai Force Majeur. Dalam bagian mengenai ganti rugi karena Force Majeur merupakan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Dapat ditarik benang merah pada kalimat tersebut bahwa Force Majeur yang tersirat dalam pasal – pasal tersebut meliputi ;
1. Peristiwa alam (seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi) ;
2. Kebakaran ;
3. Musnah atau hilangnya barang objek perjanjian.
Banjir dan gempa bumi adalah termasuk Force Majeur yaitu kejadian atau keadaan yang terjadi di luar kuasa para pihak berkepentingan yang dapat juga disebut keadaan darurat.
                Force Majeur ini biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam (banjir, gempa bumi), epidemic, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya. Force Majeur merupakan peristiwa hukum karena pada umumnya menimbulkan akibat hukum misalkan karena dengan terjadinya banjir atau gempa membuat salah satu pihak tidak dapat memenuhi isi perjanjian terhadap pihak lainya. Dengan kata lain, banjir atau gempa menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, banjir atau gempa merupakan peristiwa hukum.
                Tetapi perlu dicermati juga, jika melihat banjir ini termasuk Force Majeur apalagi dalam konteks banjir di Jakarta. Penulis mempunyai perspektif analisa yang dicoba di manifestasikan dalam penulisan ini. Banjir yang terjadi di Jakarta bukan peristiwa baru untuk didengar serta dialami. Peristiwa ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat Jakarta disetiap tahunya, artinya berarti peristiwa banjir ini sebenarnya sudah bisa di prediksi atau mungkin seharusnya sudah ada kiat untuk menanggulanginya agar tidak terjadi lagi musibah ini. Sesuatu yang sudah bisa di prediksi apakah masih bisa dikatakan Force Majeur. Dalam arti sesungguhnya Force Majeur adalah suatu peristiwa di luar kehendak atau kuasa yang sifatnya darurat hingga genting (urgent).

APAKAH PEMERINTAH BISA DIGUGAT DALAM PERISTIWA BANJIR INI
                Dalam konteks diatas perlu ditelusuri secara mendalam untuk menjawab mengenai hal tersebut. Jika Pemerintah melakukan suatu kelalaian dalam menjalankan kewajiban untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat terkait peristiwa banjir ini, perlu dilihat secara jernih dengan menggunakan kaca mata hukum yang terukur terhadap patut di duganya terjadi perbuatan melanggar hukum atau mungkin sampai perbuatan melawan hukum.
                Penulis berupaya menguraikan dari segi perspektif tanggung jawab atau tanggung gugat Negara. Tanggung jawab atau tanggung gugat Negara berkaitan dengan penggunaan wewenang Pemerintah dalam fungsi public service. Dalam melaksanakan fungsi tersebut bisa timbul kerugian atau penderitaan bagi masyarakat. Timbulnya kerugian bagi masyarakat dapat terjadi karena cacat dalam penggunaan wewenang atau berkaitan dengan perilaku aparat selaku pribadi. Kedua hal tersebut menjadi parameter ada atau tidaknya suatu tanggung jawab atau tanggung gugat Negara atas kerugian yang ada. Dalam Undang – Undang No. 5 Tahun 1986 diubah dengan Undang – Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, norma yang diatur adalah norma kewenangan, yang kalau dikaitkan dengan pengawasan atau pengujian penggunaan kewenangan dititik beratkan pada pengawasan legalitas (rechtmatigheids controle). Dalam pelayanan public lahir gugatan yang berkaitan dengan ;
1. Onrechtmatig Overheids Daad (OOD);
2. Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking).
                Terhadap tindakan Onrechtmatig Overheids Daad gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Umum, kalau tindakan itu bukan dalam Keputusan Tata Usaha Negara. Terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan Pemerintah yang merugikan, gugatan diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara, dengan menggunakan Asas – asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Dalam hal terjadi gugatan karena pelayanan publik, aturan hukum kita tidak membedakan unsur kesalahan pribadi atau karena kesalahan pelayanan publik (faute personelle dan faute de service). Undang – Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang – Undang No 9 Tahun 2004 tentang perubahan PTUN hanya mengatur dalam Pasal 116 ayat (4) tentang upaya paksa bagi para pejabat yang tidak bersedia menjalankan Keputusan yang sudah in kracht.
                Dalam undang – undang lain memang ada norma yang bisa menjelaskan mengenai faute personelle dan faute de service, misalnya Pasal 35 Undang – Undang N0. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara jo. Pasal 59 Undang – Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menetapkan bahwa “setiap kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melanggar hukum atau kelalaian diwajibkan membayar ganti kerugian”.
MALADMINISTRASI
                Maladministrasi digunakan sebagai dasar penilaian perilaku aparat atau pejabat publik (rechtmatigheidstoetsing) dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menalaah arti kata maladministrasi, berasal dari bahasa latin malum yang artinya jahat (jelek). Istilah administrasi sendiri dari bahasa latin administrate yang berarti melayani. Kalau dipadukan kedua istilah tadi berarti pelayanan yang jelek, sedangkan pelayanan itu dilakukan oleh pejabat publik.
                Dalam sistem hukum Indonesia, pengawasan pelayanan publik diserahkan pada Komisi Ombudsman Nasional. Komisi ini dibentuk berdasarkan keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000, yang berkedudukan sebagai lembaga independent dan hanya berwenang mengeluarkan rekomendasi yang bersifat non legally binding terhadap kasus – kasus maladministrasi yang diajukan kepadanya.
                Menurut ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, sasaran pengawasan adalah pelayanan umum (public service) kepada masyarakat. Parameter pelayanan umum adalah maladministrasi yang terdiri dari 20 unsur, yang meliputi ;
“penundaan berlarut, tidak menangani, persengkongkolan, pemalsuan, diluar kompetensi, tidak kompeten (tidak cakap), penyalahgunaan wewenang, bertindak sewenang - wenang, permintaan imbalan (korupsi), kolusi dan nepotisme, penyimpangan prosedur, melalaikan kewajiban,bertindak tidak layak / tidak patut, penggelapan barang bukti, penguasaan tanpa hak, bertindak tidak adil, intervensi, nyata – nyata berpihak, pelanggaran undang – undang, perbuatan melawan hukum (bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan kepatutan)”.
                Berkaitan dengan Kompetensi Ombudsman Nasional dalam pengawasan pelayanan publik tidak diatur mengenai beban kesalahan pribadi dan beban kesalahan pribadi dan beban kesalahan publik (faute personelle dan faute de service). Hal ini yang lain adalah tersebut tidak berwenang untuk memberikan keputusan atas pengaduan perilaku aparat yang di identifikasikan sebagai maladministrasi, walaupun sekarang telah diundangkan Undang – Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Ombudsman bersifat tidak mengikat. Oleh karena itu agar lembaga ini dapat berfungsi secara maksimal harus didukung eksistensi parlemen (DPR), yang akan memberi usulan kepada Pemerintah guna mengeluarkan kebijakan – kebijakan dan aturan – aturan yang berkaitan dengan public service.
                Tanggung jawab jabatan berkenaan dengan legalitas (keabsahan) tindak Pemerintah. Dalam hukum administrasi, persoalaan legalitas tindak pemerintah berkaitan dengan pendekatan terhadap kekuasaan Pemerintah. Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan fungsionaris atau pendekatan perilaku dalam hukum administrasi. Tanggung jawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun publik service.
                Pembedaan antara tanggung jawab jabatan atau tanggung jawab pribadi atas tindak pemerintah membawa konsekuensi yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha Negara (TUN). Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam kaitan dengan tindak Pemerintahan, tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubungan dengan adanya maladministrasi.
                Tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Tanggung gugat perdata menjadi tanggung gugat pribadi apabila terdapat unsur maladministrasi. Tanggung gugat TUN pada dasarnya adalah tanggung gugat jabatan. Ruang lingkup legalitas tindak Pemerintahan meliputi;
1. Wewenang ;
2. Prosedur ;
3. Subtansi .
                Wewenang dan subtansi merupakan landasan bagi legalitas formal, atas dasar legalitas formal lahirlah asas presumption iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN menyatakan “Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakanya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang di gugat”. Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas tersebut mengakibatkan cacat yuridis suatu tindakan Pemerintahan. Cacat yuridis menyangkut wewenang, prosedur dan subtansi.
UPAYA MASYARAKAT DALAM MENUNTUT KERUGIAN KEPADA PEMERINTAH
                Sampai juga diakhir analisa, yakni pada akhir penulisan ini penulis ingin memberikan suatu perspektif mengenai upaya yang bisa ditempuh jika masyarakat ingin menuntut kerugian kepada Pemerintah. Masyarakat dapat melakukan upaya gugatan perdata biasa dan gugatan Class Action. Penulis tertarik ingin memberikan suatu padangan mengenai gugatan Class Action. Class action merupakan sinonim class suit atau representative action (RA) yang berarti :
1.  Gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class representative) ;
2.   Perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang mereka wakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok ;
3.  Dalam pengajuan gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara individual satu persatu identitas anggota kelompok yang diwakili ;
4.  Yang penting, asal kelompok yang diwakili dapat di definisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik ;
5.  Selain itu, antara seluruh anggota kelompok, dengan wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan ;
      a. Kesamaan kepentingan (common interest) ;
      b. Kesamaan penderitaan (common grievance) ;
      c. Apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota .
Apabila dalam kenyataan terdapat persaingan kepentingan (competing interest) diantara anggota kelompok, tidak dapat dibenarkan mengajukan gugatan melalui Class action.
TUJUAN CLASS ACTION
1.  Mengembangkan penyederhanaan akses masyarakat meperoleh keadilan ;
2. Mengefektifkan efisiensi penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan orang banyak.

R. Rendi Sudendi, SH

Associate lawyer
PUSTAKA

A. UNDANG - UNDANG
Indonesia, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
________,  Undang – Undang No. 5 Tahun 1986 diubah dengan Undang – Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
________,  Undang – Undang N0. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
________,  Undang – Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
________, Undang – Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
B. BUKU
Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata”, Jakarta : Sinar Grafika, 2016

C. LAIN – LAIN
Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional
Philipus M. Hadjon, “Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi atas Tindak Pemerintah” Makalah, 2004.
Philipus M. Hadjon, “Maladministrasi Sebagai Dasar Penilaian Perilaku Administrasi” Makalah, 2004
Detik News, “Undang – Undang Pencegahan dan Penanggulangan Banjir” m.detik.com, di akses pada tanggal 05 Januari 2020

No comments:

Post a Comment

FILOSOFI "BELAJAR HUKUM KUY"

    Berangkat dari gejolak sanubari yang terdalam terhadap keterbatasan pengeta...

Resume Online