Dear Pembaca
Mengawali tahun 2020, sebagian rakyat
Indonesia sedang diuji oleh bencana banjir. Hampir setiap lini media, baik
media cetak maupun elektronik mengabarkan mengenai musibah banjir ini. Berita
melalui sosial media pun tak luput memberitakan mengenai musibah ini. Penulis
merasa terpanggil sebagai praktisi hukum melihat fenomena peristiwa ini yang
akan mencoba menuangkan dalam penulisan. Berbicara mengenai banjir
itu sangat kompleks dan pelik, tergantung kita melihat dari sudut pandang mana.
Dari kacamata pemerintah, penulis memandang, bahwa Pemerintah terus melakukan
upaya – upaya dalam menanggulangi tentang banjir ini, baik dalam bentuk
regulasi hingga sosialisasi agar masyarakat untuk tetap perduli dengan
lingkungan hidup disekitarnya agar tidak merusak lingkungan, membuang sampah
sembarangan hingga melakukan tindakan hukum jika melanggar aturan – aturan
mengenai hal tersebut. Jika dari sisi kehidupan masyarakat, penulis memandang
juga secara kenyataan yang terjadi, salah satunya yakni kerugian yang dialami
atas bencana ini baik kerugian material maupun immaterial.
APAKAH
BISA DIKATAKAN FORCE MAJEUR ATAS
PERISTIWA BANJIR INI
Dalam
Kuh-per tepatnya Pasal 1244 dan Pasal 1245 mengatur mengenai Force Majeur. Dalam bagian mengenai
ganti rugi karena Force Majeur
merupakan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Dapat
ditarik benang merah pada kalimat tersebut bahwa Force Majeur yang tersirat dalam pasal – pasal tersebut meliputi ;
1. Peristiwa alam (seperti banjir, tanah
longsor, gempa bumi) ;
2. Kebakaran ;
3. Musnah atau hilangnya barang objek
perjanjian.
Banjir dan gempa bumi adalah termasuk Force Majeur yaitu kejadian atau keadaan
yang terjadi di luar kuasa para pihak berkepentingan yang dapat juga disebut
keadaan darurat.
Force Majeur ini biasanya merujuk pada
tindakan alam (act of God), seperti
bencana alam (banjir, gempa bumi), epidemic, kerusuhan, pernyataan perang, perang
dan sebagainya. Force Majeur
merupakan peristiwa hukum karena pada umumnya menimbulkan akibat hukum misalkan
karena dengan terjadinya banjir atau gempa membuat salah satu pihak tidak dapat
memenuhi isi perjanjian terhadap pihak lainya. Dengan kata lain, banjir atau
gempa menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, banjir atau gempa merupakan
peristiwa hukum.
Tetapi
perlu dicermati juga, jika melihat banjir ini termasuk Force Majeur apalagi dalam konteks banjir di Jakarta. Penulis
mempunyai perspektif analisa yang dicoba di manifestasikan dalam penulisan ini.
Banjir yang terjadi di Jakarta bukan peristiwa baru untuk didengar serta
dialami. Peristiwa ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat Jakarta disetiap
tahunya, artinya berarti peristiwa banjir ini sebenarnya sudah bisa di prediksi
atau mungkin seharusnya sudah ada kiat untuk menanggulanginya agar tidak
terjadi lagi musibah ini. Sesuatu yang sudah bisa di prediksi apakah masih bisa
dikatakan Force Majeur. Dalam arti
sesungguhnya Force Majeur adalah suatu
peristiwa di luar kehendak atau kuasa yang sifatnya darurat hingga genting
(urgent).
APAKAH
PEMERINTAH BISA DIGUGAT DALAM PERISTIWA BANJIR INI
Dalam
konteks diatas perlu ditelusuri secara mendalam untuk menjawab mengenai hal
tersebut. Jika Pemerintah melakukan suatu kelalaian dalam menjalankan kewajiban
untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat terkait peristiwa banjir ini, perlu
dilihat secara jernih dengan menggunakan kaca mata hukum yang terukur terhadap
patut di duganya terjadi perbuatan melanggar hukum atau mungkin sampai
perbuatan melawan hukum.
Penulis
berupaya menguraikan dari segi perspektif tanggung jawab atau tanggung gugat
Negara. Tanggung jawab atau tanggung gugat Negara berkaitan dengan penggunaan
wewenang Pemerintah dalam fungsi public
service. Dalam melaksanakan fungsi tersebut bisa timbul kerugian atau
penderitaan bagi masyarakat. Timbulnya kerugian bagi masyarakat dapat terjadi
karena cacat dalam penggunaan wewenang atau berkaitan dengan perilaku aparat
selaku pribadi. Kedua hal tersebut menjadi parameter ada atau tidaknya suatu
tanggung jawab atau tanggung gugat Negara atas kerugian yang ada. Dalam Undang – Undang No. 5 Tahun 1986 diubah
dengan Undang – Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
norma yang diatur adalah norma kewenangan, yang kalau dikaitkan dengan
pengawasan atau pengujian penggunaan kewenangan dititik beratkan pada
pengawasan legalitas (rechtmatigheids
controle). Dalam pelayanan public lahir gugatan yang berkaitan dengan ;
1. Onrechtmatig
Overheids Daad (OOD);
2. Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking).
Terhadap
tindakan Onrechtmatig Overheids Daad
gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Umum, kalau tindakan itu bukan dalam
Keputusan Tata Usaha Negara. Terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat
atau Badan Pemerintah yang merugikan, gugatan diajukan ke Peradilan Tata Usaha
Negara, dengan menggunakan Asas – asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Dalam hal terjadi gugatan karena
pelayanan publik, aturan hukum kita tidak membedakan unsur kesalahan pribadi
atau karena kesalahan pelayanan publik (faute
personelle dan faute de service). Undang
– Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang – Undang No 9 Tahun 2004 tentang perubahan
PTUN hanya mengatur dalam Pasal 116
ayat (4) tentang upaya paksa bagi para pejabat yang tidak bersedia
menjalankan Keputusan yang sudah in
kracht.
Dalam
undang – undang lain memang ada norma yang bisa menjelaskan mengenai faute personelle dan faute de service, misalnya Pasal 35 Undang – Undang N0. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara jo. Pasal 59 Undang – Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yang menetapkan bahwa “setiap kerugian Negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melanggar hukum atau kelalaian diwajibkan membayar
ganti kerugian”.
MALADMINISTRASI
Maladministrasi
digunakan sebagai dasar penilaian perilaku aparat atau pejabat publik (rechtmatigheidstoetsing) dalam rangka
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menalaah arti kata maladministrasi,
berasal dari bahasa latin malum yang artinya jahat (jelek). Istilah
administrasi sendiri dari bahasa latin administrate yang berarti melayani.
Kalau dipadukan kedua istilah tadi berarti pelayanan yang jelek, sedangkan pelayanan
itu dilakukan oleh pejabat publik.
Dalam
sistem hukum Indonesia, pengawasan pelayanan publik diserahkan pada Komisi
Ombudsman Nasional. Komisi ini dibentuk berdasarkan keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000, yang berkedudukan sebagai
lembaga independent dan hanya berwenang mengeluarkan rekomendasi yang bersifat non legally binding terhadap kasus –
kasus maladministrasi yang diajukan kepadanya.
Menurut
ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden No.
44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, sasaran pengawasan adalah
pelayanan umum (public service)
kepada masyarakat. Parameter pelayanan umum adalah maladministrasi yang terdiri
dari 20 unsur, yang meliputi ;
“penundaan berlarut, tidak menangani,
persengkongkolan, pemalsuan, diluar kompetensi, tidak kompeten (tidak cakap),
penyalahgunaan wewenang, bertindak sewenang - wenang, permintaan imbalan
(korupsi), kolusi dan nepotisme, penyimpangan prosedur, melalaikan
kewajiban,bertindak tidak layak / tidak patut, penggelapan barang bukti,
penguasaan tanpa hak, bertindak tidak adil, intervensi, nyata – nyata berpihak,
pelanggaran undang – undang, perbuatan melawan hukum (bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku dan kepatutan)”.
Berkaitan
dengan Kompetensi Ombudsman Nasional dalam pengawasan pelayanan publik tidak
diatur mengenai beban kesalahan pribadi dan beban kesalahan pribadi dan beban
kesalahan publik (faute personelle dan
faute de service). Hal ini yang lain adalah tersebut tidak berwenang untuk
memberikan keputusan atas pengaduan perilaku aparat yang di identifikasikan
sebagai maladministrasi, walaupun sekarang telah diundangkan Undang – Undang No. 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi
Nasional Ombudsman bersifat tidak mengikat. Oleh karena itu agar lembaga ini
dapat berfungsi secara maksimal harus didukung eksistensi parlemen (DPR), yang
akan memberi usulan kepada Pemerintah guna mengeluarkan kebijakan – kebijakan
dan aturan – aturan yang berkaitan dengan public
service.
Tanggung
jawab jabatan berkenaan dengan legalitas (keabsahan) tindak Pemerintah. Dalam
hukum administrasi, persoalaan legalitas tindak pemerintah berkaitan dengan
pendekatan terhadap kekuasaan Pemerintah. Tanggung jawab pribadi berkaitan
dengan fungsionaris atau pendekatan perilaku dalam hukum administrasi. Tanggung
jawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun
publik service.
Pembedaan
antara tanggung jawab jabatan atau tanggung jawab pribadi atas tindak
pemerintah membawa konsekuensi yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana,
tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha Negara (TUN). Tanggung
jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam kaitan dengan tindak
Pemerintahan, tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubungan dengan adanya
maladministrasi.
Tanggung
gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan berkaitan dengan perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa. Tanggung gugat perdata menjadi tanggung gugat
pribadi apabila terdapat unsur maladministrasi. Tanggung gugat TUN pada
dasarnya adalah tanggung gugat jabatan. Ruang lingkup legalitas tindak
Pemerintahan meliputi;
1. Wewenang ;
2. Prosedur ;
3. Subtansi .
Wewenang
dan subtansi merupakan landasan bagi legalitas formal, atas dasar legalitas
formal lahirlah asas presumption iustae
causa. Atas dasar asas itulah ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN menyatakan “Gugatan
tidak menunda atau menghalangi dilaksanakanya Keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang di gugat”. Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas
tersebut mengakibatkan cacat yuridis suatu tindakan Pemerintahan. Cacat yuridis
menyangkut wewenang, prosedur dan subtansi.
UPAYA
MASYARAKAT DALAM MENUNTUT KERUGIAN KEPADA PEMERINTAH
Sampai
juga diakhir analisa, yakni pada akhir penulisan ini penulis ingin memberikan
suatu perspektif mengenai upaya yang bisa ditempuh jika masyarakat ingin menuntut
kerugian kepada Pemerintah. Masyarakat dapat melakukan upaya gugatan perdata
biasa dan gugatan Class Action.
Penulis tertarik ingin memberikan suatu padangan mengenai gugatan Class Action. Class action merupakan
sinonim class suit atau representative action (RA) yang berarti
:
1. Gugatan yang
berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa
orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class
representative) ;
2. Perwakilan
kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk dan atas nama
mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang mereka wakili, tanpa
memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok ;
3. Dalam
pengajuan gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara individual satu
persatu identitas anggota kelompok yang diwakili ;
4. Yang penting,
asal kelompok yang diwakili dapat di definisikan identifikasi anggota kelompok
secara spesifik ;
5. Selain itu,
antara seluruh anggota kelompok, dengan wakil kelompok terdapat kesamaan fakta
atau dasar hukum yang melahirkan ;
a. Kesamaan
kepentingan (common interest) ;
b. Kesamaan
penderitaan (common grievance) ;
c. Apa yang
dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota .
Apabila dalam kenyataan terdapat persaingan
kepentingan (competing interest)
diantara anggota kelompok, tidak dapat dibenarkan mengajukan gugatan melalui Class action.
TUJUAN
CLASS ACTION
1.
Mengembangkan penyederhanaan akses masyarakat meperoleh keadilan ;
2. Mengefektifkan efisiensi penyelesaian pelanggaran
hukum yang merugikan orang banyak.
R. Rendi Sudendi, SH
Associate lawyer
PUSTAKA
A.
UNDANG - UNDANG
Indonesia, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
________, Undang
– Undang No. 5 Tahun 1986 diubah dengan Undang – Undang No. 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara
________, Undang
– Undang N0. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
________, Undang
– Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
________, Undang
– Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
B.
BUKU
Yahya Harahap, “Hukum
Acara Perdata”, Jakarta : Sinar Grafika, 2016
C.
LAIN – LAIN
Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi
Ombudsman Nasional
Philipus M. Hadjon, “Tanggung
Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi atas Tindak Pemerintah” Makalah,
2004.
Philipus M. Hadjon, “Maladministrasi
Sebagai Dasar Penilaian Perilaku Administrasi” Makalah, 2004
Detik News, “Undang
– Undang Pencegahan dan Penanggulangan Banjir” m.detik.com, di akses pada
tanggal 05 Januari 2020
No comments:
Post a Comment